Sabtu, 19 Oktober 2013

3EB09 - TUGAS 2 - BAHASA INDONESIA




PERJUANGAN ANAK KECIL DALAM MENGHADAPI HIDUP



Tidak banyak pengemis, gelandangan, dan bahkan pekerja buruh sebagian besar adalah anak-anak di bawah umur. Di karnakan tingkat kehidupan mereka dibawah kesejahteraan dan kondisi yang membuat mereka seperti itu . Mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anak yang seharusnya bersekolah, tetapi mereka harus menanggung beban , merasakaan kerasnya hidup dijalanan, merasakan panasnya terik matahari, merasakan dinginnya air hujan, dan bekerja keras untuk mencari uang yang halal.  Ada juga sebagian dari mereka yang bekerja setelah berangkat atau pulang sekolah.

Seperti anak yang berusia 7 tahun, yang saya lihat di salah satu acara televisi swasta. Ia hanya tinggal dengan ibunya saja,karna ayahnya sudah lama meninggal dunia. Ibunya hanya bekerja sebagai buruh pacul di sawah.  Sehingga Siti (namanya) harus membantu ibunya mencari uang. Setiap pulang sekolah Siti harus berkeliling kampung untuk berjualan bakso. Di karnakan ia masih cukup kecil untuk membawa gerobak bakso, jadi bakso dan kuahnya dimasukan kedalam termos nasi, yang sebenarnya juga terlalu besar dan berat untuk anak seusia dia.

Siti pun harus berjalan keluar masuk kampung untuk menjual baksonya, terkadang jalanannya pun menanjak naik . Jika ada pembeli, Siti akan membuatkan baksonya dimangkoknya.  Terkadang pun saat ada yang memesan bakso, Siti pun ingin rasanya menyicipinya, namun tak bisa. Penghasilan dari penjualan bakso Siti pun tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jika bakso yang di jualnya habis, ia hanya mendapat upah sebesar Rp.2.000 rupiah saja. Dan jika jualannya tidak habis ia hanya di beri upah Rp.1.000 rupiah saja. Tidak seimbang upah yang ia dapat dengan kerja keras yang  ia jalani. Selain berkeliling menjual bakso, Siti pun juga memberikan jasa untuk orang yang membutuhkan tenaganya.

Ada juga tentang anak dibawah umur yang berkerja karna menjadi tulang punggung keluarga, dia tidak seberuntung Siti yang bisa bersekolah walaupun harus berjualan. Anto (namanya), Ia harus bekerja apa saja untuk mendapatkaan uang. Terkadang ia harus panas-panasan untuk mencari orang yang ingin memakai jasa Anto, untuk membantu membawa hasil panennya. Terkadang anto hanya mendapat upah sedikit uang dan membawa sedikit hasil panen yang ia bantu tadi. Anto hanya tinggal dengan kedua adiknya dan neneknya, neneknya hanya berjualan gula aren di kampungnya. Sedangkan kedua orang tuanya sudah lama tiada. 

Saat Anto sedang membantu neneknya berkeliling berjualan gula aren, ia sesekali melihat teman-teman sebayanya bersekolah. Sedih rasanya, ia ingin sekali bersekolah, sama seperti teman-temannya. Namun apa daya, dia harus mencari uang untuk ke dua adiknya dan neneknya, jangankan untuk sekolah, bermain pun dia sudah tidak bisa, karna dia ingin membantu neneknya. Walaupun Anto iri melihat teman-temannya bisa bersekolah, namun semangat Anto untuk menghidupi keluarganya tidak pernah pudar. Karna ia percaya Tuhan tidak pernah meninggalkannya.

 Mereka mempunyai mimpi yang selalu menjadi motivasi mereka untuk bekerja keras. Anak-anak yang seharusnya menuntut ilmu di sekolah, bermain bersama teman-temannya. Malah harus bekerja keras untuk membantu membiayai kehidupan mereka dan keluarga mereka, Siti  dan Anton adalah salah satu contoh dari potretan anak-anak di Indonesia yang kurang beruntung.

Kita patut bersyukur atas keadaan kita sekarang, yang bisa sekolah, bersyukurlah dan jangan sia-siakan karna masih bnayak anak-anak diluar sana yang ingin sekolah namun tak mampu. Yang mempunyai cukup uang jangan dihambur-hamburkan karna masih banyak orang yang diluar sana susah payah mencari uang,

 Nama : Amalia Noviaanti
Npm   : 20211646

Jumat, 03 Mei 2013

Review 3 : ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TELEPON SELULER


Review
ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN TELEPON SELULER
Oleh:
Netty Endrawati
Dosen Fakultas Hukum UNISKA Kediri
Berisi :
Pembahasan


D. PEMBAHASAN
1. Kasus yang Berkaitan dengan Hak dan
Kewajiban Pengguna Telepon Seluler.
Sifat konsumerisme di Indonesia atas penggunaan telepon seluler, menjadikan peluang bagi pihak produsen serta content provider untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari pihak konsumen. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus pelaporan pencurian atau penyedotan pulsa yang dialami oleh pengguna telepon seluler. Misalnya, pada kasus yang diungkapkan oleh Kompas.com bahwa sudah ada 17 saksi yang telah melapor terkait pencurian pulsa.
Berikut ulasannya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan, penyidik Badan Reserse dan Kriminal Polri telah memeriksa 17 saksi dalam kasus pencurian pulsa melalui layanan premium. Namun, belum ada satupun tersangka dalam kasus itu karena polisi masih membutuhkan keterangan sejumlah saksi.
Para saksi tersebut di antaranya empat orang pelapor kasus, tiga orang terlapor, dan satu orang saksi dari media elektronik yang mengiklankan program premium dari content provider. Selain itu, dua orang dari content provider serta saksi dari operator telepon seluler sebanyak tujuh orang.
Selain saksi tersebut, penyidik juga telah meminta keterangan dari sejumlah saksi ahli. Saksi ahli antara lain dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Kementerian Sosial, ahli komputer forensik, dan Cyber Crime Investigation Center (CCIC) Bareskrim Polisi juga mengumpulkan keterangan ahli dari Perlindungan Konsumen Nasional dan ahli teknologi informasi dari ITB serta Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Dari pemeriksaan dan pengusutan kasus ini, polisi juga menyita barang bukti berupa 5 telepon genggam berbagai merek, 5 unit SIM card, dan satu lembar informasi biaya penggunaan telepon atau billing statement. Barang bukti juga berupa satu lembar dari SMS pass dengan nomor +628131651XXX dan  +62812210XXX, satu keping video acara promo yang ditayangkan televisi swasta, kemudian satu lembar special package dari content provider, serta satu koran yang memuat berita tersebut.
Dalam kasus ini, Polisi akan menggunakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dan Pasal 362 KUHP tentang pencurian untuk menjerat tersangka. Tersangka juga dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Kominfo Nomor 1 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium.1
Pada perkembangan selanjutnya, penyidik juga menanyai saksi ahli. Pertama, dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Kedua, Kementerian Sosial, serta ketiga dari ahli komputer forensik, Cyber Crime Investigation Center Bareskrim. Kemudian, ahli dari perlindungan konsumen nasional dan ahli IT ITB serta ahli Kominfo (Kementerian Komunikasi
dan Informatika). Empat orang menjadi pelapor dalam kasus yang ditangani Bareskrim ini, yaitu dengan laporan polisi nomor 3409, 3511, 3568, dan 3616.
Pada umumnya, pelapor merasa dirugikan oleh layanan jasa pulsa premium yang dipromosikan melalui iklan di media dan sms/spam yang menjanjikan hadiah ringtone gratis, iklan voucher belanja ke nomer pelapor.
Selain itu, pelapor merasa tidak pernah merasa meregistrasi kepada operator yang bersangkutan, namun tetap dilakukan pengiriman dan dilakukan pemotongan pulsa. Pada saat bersamaan, pelapor juga merasa kesulitan untuk melakukan unreg.
“Kemudian, atas layanan sms premium tersebut, pada saat melakukan pengiriman dan penerimaan pesan premium tersebut dikenakan charge sebesar dua ribu hingga tiga ribu dg PPN-nya. Ini yang merugikan konsumen,” kata Saud.
Sementara itu, untuk tersangka, saat ini penyidik belum mengarah ke sana. Mereka akan fokus pada pemeriksaan saksi-saksi terlebih dahulu, jika sudah cukup, maka baru menetapkan tersangka. “Sehingga pada saatnya nanti, sudah tidak ada dan dapat menunjuk tersangka dengan akurat,” tutur Saud.2
Kasus serupa juga terjadi pada Feri Kuntoro, yang melaporkan dugaan penarikan pulsa melalui modus pesan singkat berlangganan (registrasi) yang ditayangkan pada salah satu televisi swasta.
Feri menuturkan kejadian berawal saat pihaknya mencoba ikut salah satu tayangan undian berhadiah pada salah satu televisi sekitar Maret 2011. Kemudian pelapor
mendaftarkan diri (registrasi) melalui pesan singkat berdasarkan format tulisan ke nomor content provider 9133. Setelah pendaftaran tersebut, Feri dikenakan biaya potongan pulsa premium sebesar 2.000 rupiah setiap terima pesan dari nomor 9133. Feri menyatakan pihaknya kesulitan berhenti berlangganan (unreg) konten tersebut karena tidak tersedia fasilitas unreg. Secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tifatul Sembiring mengatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika siap mengajukan operator seluler yang terbukti melakukan pelanggaran terkait kasus sedot pulsa yang terjadi belakangan ini. Sebelumnya, Kominfo mengatakan, pihaknya telah memberikan peringatan kepada para penyedia konten. Tetapi waktu itu tidak jelas. Selanjutnya dilihat kesalahannya ada di pihak provider (operator telekomunikasi) atau penyedia konten. Kominfo menambahkan seharusnya pihak yang mengambil pulsa dari pengguna melakukan konfirmasi. Karena jika tidak, itu sama artinya dengan mencuri. Kominfo menambahkan, kalau terbukti mencuri dengan sengaja, content provider akan dilaporkan ke polisi.3

2. Kasus yang Berkaitan dengan Hak dan

Kewajiban Produsen Telepon Seluler.

Panitia Kerja Pencurian Pulsa yang dibentuk oleh Komisi I DPR sedang menyelidiki siapa yang paling bersalah dalam kasus tersebut. Kesimpulan sementara, yang paling bersalah dalam hal tersebut adalah pihak content provider (CP), operator, dan regulator. Namun, Ketua Panja Pencurian Pulsa Tantowi Yahya menjelaskan, masih dini untuk menyimpulkan bahwa tiga pihak tersebut yang dinilai paling bersalah dalam kasus ini. Tetapi, agar menemukan siapa dalang di balik kasus tersebut, pihak Panja Pencurian Pulsa akan mendatangkan konsumen, perwakilan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, ahli hukum dan telekomunikasi,
content provider dan content owner, operator, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), serta kepolisian dan kejaksaan.“Dalam Panja ini akan ditemukan siapa yang paling bersalah dalam kasus tersebut. Kita bukan mengadili, tapi kami sudah mengumpulkan bukti-bukti yang bisa dicross
check dari para narasumber yang kami hadirkan di sini,” ungkap Tantowi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I DPR Senayan Jakarta, Selasa (6/12/2011). Agar mendapat kejelasan, Panja Pencurian Pulsa kali ini menghadirkan perwakilan dari Indonesian Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA), Indonesian Mobile Multimedia Association (IMMA), Asosiasi Kreatif Digital Indonesia (AKDI), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), dan Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia (Gaperindo).
Chairman IMMA, T. Amershah, menganggap bahwa CP dan operator sama-sama harus bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bagaimanapun, kedua pihak ini yang menjalankan bisnis tersebut.
Ketua IMOCA, A. Haryawirasma, mengaku, pihak CP merupakan aktor utama yang dinilai bersalah dalam kasus tersebut. Selanjutnya, operator dinilai sebagai pelaku pelengkap yang bersalah. “CP dianggap pelaku utama karena menyediakan konten sekaligus cara-cara registrasinya, sedangkan operator yang memotong pulsa pengguna,” kata Haryawirasma.
Ketua AKDI Berlin Pasaribu juga senada, yang menganggap bahwa CP dan operator harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Dia menganggap kedua pihak ini telah melakukan koordinasi untuk memotong pulsa pengguna.
Pernyataan berbeda dilontarkan Sekjen IMOCA Ferrij Lumoring yang mengaku untuk memvonis pihak CP atau operator bersalah adalah pihak kepolisian dan kejaksaan. Selama ini, baik pihak CP maupun operator akan diminta keterangannya terkait kasus tersebut. Jika sudah terbukti maka proses peradilan bisa dilakukan.4 Kasus serupa juga terjadi di Medan, yaitu pelanggan yang bernama, John Parlin Sinaga menggugat PT. Exelcomindo Axiata (XL) dengan mengadu ke Badan Penyelesaian Sengketa Daerah Kota Medan karena mengangap perusahaan seluler tersebut melakukan pelanggran atas hak konsumen. Adapun perkaranya menurut John, dia menilai pelaku dalam memberikan fasilitas 50 menit gratis bicara kepada nomor prabayar sebagai bentuk permohonan maaf atas gangguan yang terjadi pada Kamis (13/
11) bersifat tidak adil atau diskriminatif. Untuk itu memohon kepada BPSK Kota Medan dapat memberikan putus an atas permintaannya berupa pengabulan permohonanpengaduan konsumen, dan menyatakan perbuatan XL merupakan perbuatan melawan hukum. Selain itu, John juga memohon agar pelaku usaha memberi ganti rugi materil dan immaterial sebesar Rp. 2 Miliar, dan menghukum PT tersebut untuk memohon maaf secara khusus kepada konsumen dan secara umum kepada pelanggan yang dirugikan atas perlakuan tidak adil dari pelaku usaha tersebut.5
3. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Bagi Pengguna Telepon Seluler.
Saat ini, peraturan perudang-undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum disahkanya UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Ketentuan Umum UU No. 8 Tahun 1999, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Selain itu, perlindungan konsumen juga mengacu pada Pasal 8 Ayat 1 (satu) Undang- Undang No. 8 Tahun 1999, yang berisi tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
Undang-Undang lain yang berkaitan dengan perlindungan pengguna telepon seluler adalah:
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993, Keputusan Menteri Pariwisata.
c. Pos dan Telekomunikasi Nomor KM.116/ PT/102/MPT-91 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Bukan Dasar.
d. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM.39/KS.002/ MPTIT-93 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Telekomunikasi Dasar.
e. Ketentuan internasional yaitu Internasional Telekomunikasi Unions, Conventions yang diratifikasi dengan Keppres Nomor 18 Tahun 1996.
4. Analisis Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Telepon Seluler
Dari paparan berbagai kasus di atas dianalisis berdasarkan Peraturan dan perundang- undangan perlindungan konsumen di Indonesia.
a. Kasus yang Berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Pengguna Telepon seluler.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan 5 pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka kasus di atas bisa dikatakan bahwa di dalamnya terdapat pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh produsen telepon seluler beserta pihak yang bekerja sama dengan produsen telepon seluler. Pelanggaran tersebut berupa tidak dipenuhinya hak pengguna atas kenyamanan, dan keamanan dalam menggunakan produk atau jasa dari produsen telepon seluler. Hal tersebut terlihat dari kejadian hilangnya pulsa pengguna setelah mendapatkan sms premium dari content provider. Sebagai pelaku usaha, produsen telepon seluler mempunyai kewajiban memberikan layanan yang membuat pelanggan nyaman dan aman. Kebanyakan pencurian pulsa berasal dari SMS premium dan layanan premium merupakan produk hasil kerja sama antara operator dan content provider. Namun menurut beberapa ahli, layanan premium itu merupakan tanggung jawab bersama antara operator dan content provider.
Namun demikian, operator yang tetap memegang kendali terhadap pulsa para konsumen telepon seluler. Maka seharusnya masalah tersebut menjadi tanggung jawab bagi produsen telepon seluler. Dan produsen tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya tersebut. Selain itu, pada dua kasus di atas juga diindikasikan adanya tidak dipenuhinya hak pengguna telepon seluler atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dengan adanya kasus penipuan yangbermodus layanan sms premium, yang menyedot pulsa pengguna telepon seluler, maka secara otomatis produsen sudah melakukan pelanggaran terhadap hak konsumen atas informasi yang jelas, benar dan jujur atas produk yang digunakannya. Dalam Pasal 4 ayat 8 pada UUPK, disebutkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Maka pengguna telepon seluler sebagai konsumen berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi jika pengguna tersebut merasa dirugikan oleh produsen. Hak kompensasi tersebut harus dipenuhi oleh pihak produsen sebagaimana mestinya.
Hak tersebut seharusnya bisa dipenuhi karena pihak konsumen sudah memenuhi kewajiban sebagai pengguna telepon seluler, seperti yang ada dalam ketentuan pasal 5 UUPK. Dinyatakan bahwa pengguna sudah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa, membayar sesuai denganilai tukar yang disepakati, bahkan sudah mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
b. Kasus yang berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Produsen Telepon Seluler.

Dalam UUPK, juga diatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha atau produsen. Dalam ketentuan umum dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Berdasarkan dua kasus di atas yang berhubungan dengan produsen, dapat dikatakan bahwa pihak provider berhak untuk melakukan pembelaan atau mendapatkan perlindungan hukum, jika kasus pencurian pulsa di atas bukan merupakan kesalahan pihak produsen. Produsen juga dapat menyalahkan pihak content provider, disertai bukti yang menguatkan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahan pada pihaknya. Hal ini sesuai dengan UUPK Pasal 6 ayat 2 dan 3. Provider juga berhak untuk mendapatkan rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum, bahwa kerugian yang dialami konsumen tidak diakibatkan oleh produk yang diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat 4 UUPK. Jika melihat dari kasus diskriminasi yang dialami Feri Kuntoro, maka pihak provider telah menyalahi UUPK Pasal 6 ayat 3 yang menyatakan bahwa, pihak pelaku usaha mempunyai kewajiban memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif.
Maka hal yang harus dilakukan oleh pihak produsen adalah sesuai pada pasal 6 ayat 6 dan 7 UUPK, yaitu memberikan
kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian yang ditanggung oleh pihak konsumen. Jika dilihat kasus-kasus di atas, sebenarnya, UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan sebagai: “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat kosumen dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dari analisa di atas, dapat dikatakan bahwa, kepastian hukum menuntut aturan yang termuat dalam produk hukum berlaku dengan pasti kepada semua warga negaranya. Hukum sebagai tolok ukur objektif guna menyelesaikan konflik sosial, maka di dalam dirinya sendiri harus bersifat objektif. Masyarakat melalui hukum dijamin tidak akan diperlakukan secara diskriminatif, maka untuk menjamin kepastian hukum, seyogyanya suatu peraturan perlu dipositifkan (dirumuskan dalam undang-undang/ produk hukum tertulis) agar pelaksanaannya dapat berlaku sama.
Salah satu contoh kongkret pertentangan nilai dasar keadilan dan kepastian hukum dapat dilihat pada konsep ganti kerugian yang telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999. Dalam ketentuan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa: 1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Artinya, berdasarkan asas hukum yang umum berlaku dalam hukum perdata, bahwa ganti rugi hanya mungkin diwajibkan kepada pelaku usaha untuk memberikannya kepada pihak yang dirugikan apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
1) Telah terjadi kerugian konsumen;
2) Kerugian tersebut memang adalah sebagai akibat perbuatan pelaku usaha;
3) Tuntutan ganti kerugian telah diajukan gugatan oleh pihak yang menurut UU No. 8 Tahun 1999 berhak mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1); dan
4) Telah ada Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga telah dapat dilaksanakan.
Putusan tersebut dapat berupa hasil kesepakatan antar pelaku usaha dan konsumen yang telah menyelesaikan sengketanya melalui penyelesaian damai, atau berupa Putusan arbistrase BPSK atau Putusan Pengadilan.
Berdasarkan asas hukum yang berlaku dalam hukum perdata tersebut, terlihat secara jelas bahwa, untuk memperoleh keadilan, konsumen yang secara nyata dirugikan pun harus tetap menempuh proses dan prosedur yang sangat sulit.

D. PENUTUP

Kesimpulan dari pembahasan di atas bahwa antara konsep dan realita sering kali tidak seiring sejalan. UU No. 8 Tahun 1999 yang diharapkan dapat menjadi senjata bagi pencari keadilan, dalam implementasinya ternyata harus menghadapi berbagai kendala. Pada kenyataannya konsumen yang secara nyata telah dirugikan harus tetap melalui proses dan prosedur yang panjang untuk memperoleh ganti kerugian. Proses dan prosedur yang sulit menyebabkan konsumen bersikap pasif, tidak perduli menanggapi kerugian yang telah mereka alami selama bertahun-tahun. Terkait dengan pertanggung-jawaban, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999, dalam memenuhi rasa keadilan seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab secara langsung kepada konsumen dengan memberikan ganti rugi tanpa perlu melalui proses dan prosedur yang panjang. Namun, dengan adanya asas kepastian hukum dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1999, terkait kasus ini ternyata konsumen menggalami kesulitan untuk memperoleh hak-haknya. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen harus melakukan upaya hukum yang membutuhkan proses dan prosedur panjang serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada tataran implementasinya, upaya hukum yang harus dilakukan oleh konsumen tidak semudah yang dibayangkan. Ketentuan hukum UU No. 8 Tahun 1999 tidak sesuai dengan harapan yaitu menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat, sederhana dan biaya murah.
Saran yang perlu disampaikan dalam penulisan ini adalah Keadilan dalam konsep pemenuhan hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengeketa perlindungan konsumen secara patut pun belum dilakukan oleh pemerintah. Seharusnya, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, pemerintah bekerjasama dengan BPSK atau LPKSM mengupayakan semaksimal mungkin pemenuhan hak konsumen untuk memperoleh ganti kerugian. Dalam konteks keadilan seharusnya pelaku usaha dengan penuh kesadaran memenuhi semua kewajiban untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 7 UU no. 8 Tahun 1999.

REFERENSI

Advendi Simangunsong dan Elsi Kartika Sari, 2007, “Hukum dalam Ekonomi”, Edisi III, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm.161-163.
Andrie Yudhistira, 6 Desember 2011, “Kasus Pencurian Pulsa, Polri Tambah Pasal”, tersedia di website http://berita.liputan6. com/read/366150/kasus-pencurianpulsa- polri-tambah-pasal, diakses tanggal 24 Januari 2012.
Christine, Daymone dan Immy Holloway. 2008. Metode Riset Kualitatif. Yogyakarta: Benteng Pustaka.
Happy Susanto, 2008, “Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan”, Jakarta: Visi Media Ciganjur.
“Hukum tentang Pencurian Pulsa”, http:// koran-jakarta.com/index.php/pagen / pageof/771/Hukum tentang Pencurian Pulsa/72938.htm, 05 Oktober 2011.
Ismoko Widjaya dan Syahrul Ansyari, 12 Oktober 2011, “Tifatul: Pencurian Pulsa
Masuk Pidana”, tersedia di website http:/ /metro.vivanews.com/news/read/ 254771-tifatul—pelanggaran-pulsa— masuk-pidana, diakses tanggal 24 Januari 2012.
Iwan Hermawan, 19 (3) Oktober 2011,“Kebijakan Pasar dan Telekomunikasi diIndonesia (Kasus ‘Pencurian’ Pulsa Telepon Seluler), Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Konsumen Gugat PT. Exelcomindo”, http://www.antarasumut.com/berita-sumut/ konsumen-gugat-pt-exelcomindo/, 18 Januari 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Sudah 17 Saksi, Belum Ada Tersangka Pencurian Pulsa” http://megapolitan. kompas.com/read/2011/12/08/2100553/ Sudah.17. Saksi.Belum. Ada.Tersangka. Pencurian.Pulsa, 08 Desember 2011.
“Siapa yang Salah, “Content Provider” atau Operator?”, http://tekno.kompas.com/ read/2011/12/07 /10430690/Siapa. yang. Salah.Content.Provider.atau.Operator, 07 Desember 2011.
Taufik Rachman, 8 Desember 2011, “Kalau tak Ada Pengaduan, Operator tak tahu
Ada Penipuan Pulsa”, tersedia di website http://www.republika.co.id/berita/ trendtek/telekomunikasi/11/12/08/ lvvmp7-kalau-tak-ada-pengaduanoperator- tak-tahu-ada-penipuan-pulsa, diakses tanggal 24 Januari 2012.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2007, “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia”, Jakarta: YLBHI.

Kamis, 02 Mei 2013

Review 2 : ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TELEPON SELULER


Review
ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN TELEPON SELULER
Oleh:
Netty Endrawati
Dosen Fakultas Hukum UNISKA Kediri
Berisi :
Telaah Literaatur


B. TELAAH LITERATUR

1. Perlindungan Konsumen

Dilihat dari segi sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia benar-benar dipopulerkan sejak sekitar 21 tahun yang lalu, yaitu dengan berdirinya suatu LSM (NGO) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri Februari 1988, dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota consumers internasional (CI). Latar belakang munculnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di Indonesia dikarenakan adanya konsumerisme. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi III di definisikan bahwa yang dimaksud dengan konsumerisme adalah:
a. Gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan
b. Paham atau gaya hidup yang menggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan; gaya hidup yang tidak hemat.

Dalam konteks ini, munculnya lembagalembaga tersebut bertujuan untuk melindungi dan menjadi wadah perwakilan bagi konsumen, sekaligus semaksimalkan pendidikan perlunya menghindari hidup konsumerisme. Dalam hal ini, sebenarnya LPKSM tersebut memposisikan dirinya sebagai mediator antara konsumen, produsen, dan pemerintah.
Upaya perlindungan konsumen tidak hanya dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, akan tetapi juga dilakukan oleh pemerintah. Upaya atau kebijakan pemerintah tersebut dituangkan dalam UU No. 8 Tahun 1999. Yang mana dalam undangundang tersebut, dibentuk suatu lembaga, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir 11 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan PBSK adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan  yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelsaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Berdasarkan Pasal 1 Bab 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan konsumen ini berasaskan pada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Selanjutnya, perlindungan konsumen menurut Purba (1992:393-408, dalam Susanto, 2008:3) dapat dijelaskan dalam kerangka umum yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Konsumen dan pelaku usaha mempunyai derajat yang sama.
b. Konsumen mempunyai hak.
c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban.
d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional.
e. Perlindungan konsumen dalam iklan bisnis yang sehat.
f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa.
g. Pemerintah perlu berperan aktif.
h. Masyarakat juga perlu berperan serta.
i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang.
j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Sementara jika dilihat dari isi upaya perlindungan konsumen di bawah Undang- Undang, maka ada tiga model pendekatan dalam perlindungan konsumen tersebut, yaitu:
a. Pendekatan sektoral: berarti hak-hak konsumen diakomodir dalam berbagai produk undang-undang sektoral.
b. Pendekatan holistik: ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi payung dari Undang-Undang sektoral yang berdimensi konsumen.
c. Pendekatan gabungan: selain UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) secara khusus, untuk hal lain yang lebih detail dan teknis dipertegas dalam Undang-Undang sektoral, pendekatan inilah yang dipakai pemerintah Indonesia (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2007:260).
Adapun tujuan dari perlindungan konsumen adalah:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usahaproduksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Jadi, perlindungan konsumen menurut UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Peraturan tersebut merupakan sebuah usaha untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang- wenang dari para pelaku usaha.
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebagai pengguna dari sebuah produk atau layanan jasa, maka konsumen memiliki hak yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Hakhak konsumen didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dijabarkan tentang hak konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa, sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.       
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Selain memiliki hak yang harus dipenuhi, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang dijabarkan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu:
a. Membaca, mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a. Hak pelaku usaha         
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban pelaku usaha Hak pelaku usaha di atas juga disertai oleh kewajiban bagi pelaku usaha. Kewajiban tersebut adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu:
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4) Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7) Memberi kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
8) Dalam Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha, di antaranya: larangan dalam memproduksi/ memperdagangkan, larangan dalam menawarkan/ mempromosikan/ mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral/ lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan.
C. METODE PENELITIAN
Sehubungan dengan jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik, maka untuk memperoleh hasil analisis penelitian dipergunaan sumber data pendukung, yang terdiri dari sumber data primer yang diperoleh dari hasil observasi dan penelitian lapang dengan metode wawancara terhadap rensponden penelitian. Untuk mempertajam analisis hasil penelitian, maka dalam penelitian ini didukung dengan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan pustaka yang relevan