Kamis, 02 Mei 2013

Review 2 : ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TELEPON SELULER


Review
ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN TELEPON SELULER
Oleh:
Netty Endrawati
Dosen Fakultas Hukum UNISKA Kediri
Berisi :
Telaah Literaatur


B. TELAAH LITERATUR

1. Perlindungan Konsumen

Dilihat dari segi sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia benar-benar dipopulerkan sejak sekitar 21 tahun yang lalu, yaitu dengan berdirinya suatu LSM (NGO) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri Februari 1988, dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota consumers internasional (CI). Latar belakang munculnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di Indonesia dikarenakan adanya konsumerisme. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi III di definisikan bahwa yang dimaksud dengan konsumerisme adalah:
a. Gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan
b. Paham atau gaya hidup yang menggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan; gaya hidup yang tidak hemat.

Dalam konteks ini, munculnya lembagalembaga tersebut bertujuan untuk melindungi dan menjadi wadah perwakilan bagi konsumen, sekaligus semaksimalkan pendidikan perlunya menghindari hidup konsumerisme. Dalam hal ini, sebenarnya LPKSM tersebut memposisikan dirinya sebagai mediator antara konsumen, produsen, dan pemerintah.
Upaya perlindungan konsumen tidak hanya dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, akan tetapi juga dilakukan oleh pemerintah. Upaya atau kebijakan pemerintah tersebut dituangkan dalam UU No. 8 Tahun 1999. Yang mana dalam undangundang tersebut, dibentuk suatu lembaga, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir 11 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan PBSK adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan  yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelsaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Berdasarkan Pasal 1 Bab 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan konsumen ini berasaskan pada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Selanjutnya, perlindungan konsumen menurut Purba (1992:393-408, dalam Susanto, 2008:3) dapat dijelaskan dalam kerangka umum yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Konsumen dan pelaku usaha mempunyai derajat yang sama.
b. Konsumen mempunyai hak.
c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban.
d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional.
e. Perlindungan konsumen dalam iklan bisnis yang sehat.
f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa.
g. Pemerintah perlu berperan aktif.
h. Masyarakat juga perlu berperan serta.
i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang.
j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Sementara jika dilihat dari isi upaya perlindungan konsumen di bawah Undang- Undang, maka ada tiga model pendekatan dalam perlindungan konsumen tersebut, yaitu:
a. Pendekatan sektoral: berarti hak-hak konsumen diakomodir dalam berbagai produk undang-undang sektoral.
b. Pendekatan holistik: ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi payung dari Undang-Undang sektoral yang berdimensi konsumen.
c. Pendekatan gabungan: selain UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) secara khusus, untuk hal lain yang lebih detail dan teknis dipertegas dalam Undang-Undang sektoral, pendekatan inilah yang dipakai pemerintah Indonesia (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2007:260).
Adapun tujuan dari perlindungan konsumen adalah:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usahaproduksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Jadi, perlindungan konsumen menurut UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Peraturan tersebut merupakan sebuah usaha untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang- wenang dari para pelaku usaha.
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebagai pengguna dari sebuah produk atau layanan jasa, maka konsumen memiliki hak yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Hakhak konsumen didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dijabarkan tentang hak konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa, sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.       
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Selain memiliki hak yang harus dipenuhi, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang dijabarkan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu:
a. Membaca, mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a. Hak pelaku usaha         
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban pelaku usaha Hak pelaku usaha di atas juga disertai oleh kewajiban bagi pelaku usaha. Kewajiban tersebut adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu:
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4) Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7) Memberi kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
8) Dalam Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha, di antaranya: larangan dalam memproduksi/ memperdagangkan, larangan dalam menawarkan/ mempromosikan/ mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral/ lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan.
C. METODE PENELITIAN
Sehubungan dengan jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik, maka untuk memperoleh hasil analisis penelitian dipergunaan sumber data pendukung, yang terdiri dari sumber data primer yang diperoleh dari hasil observasi dan penelitian lapang dengan metode wawancara terhadap rensponden penelitian. Untuk mempertajam analisis hasil penelitian, maka dalam penelitian ini didukung dengan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan pustaka yang relevan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar