Review
ANALISIS
YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN
TELEPON SELULER
Oleh:
Netty Endrawati
Dosen Fakultas Hukum UNISKA Kediri
Berisi :
Telaah Literaatur
B. TELAAH
LITERATUR
1. Perlindungan
Konsumen
Dilihat
dari segi sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia benar-benar dipopulerkan
sejak sekitar 21 tahun yang lalu, yaitu dengan berdirinya suatu LSM (NGO) yang
bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, muncul beberapa
organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K)
di Semarang yang berdiri Februari 1988, dan pada tahun 1990 bergabung sebagai
anggota consumers internasional (CI). Latar belakang munculnya Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di Indonesia dikarenakan adanya konsumerisme.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi III di definisikan bahwa yang dimaksud
dengan konsumerisme adalah:
a. Gerakan atau kebijakan untuk
melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual,
dan pengiklan
b. Paham atau gaya hidup yang menggap barang-barang
(mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan; gaya hidup yang tidak hemat.
Dalam
konteks ini, munculnya lembagalembaga tersebut bertujuan untuk melindungi dan
menjadi wadah perwakilan bagi konsumen, sekaligus semaksimalkan pendidikan perlunya
menghindari hidup konsumerisme. Dalam hal ini, sebenarnya LPKSM tersebut memposisikan
dirinya sebagai mediator antara konsumen, produsen, dan pemerintah.
Upaya
perlindungan konsumen tidak hanya dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, akan
tetapi juga dilakukan oleh pemerintah. Upaya atau kebijakan pemerintah tersebut
dituangkan dalam UU No. 8 Tahun 1999. Yang mana dalam undangundang tersebut,
dibentuk suatu lembaga, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir 11 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
PBSK adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa
antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelsaikan kasus-kasus
sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Berdasarkan
Pasal 1 Bab 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan
konsumen ini berasaskan pada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian
hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Selanjutnya,
perlindungan konsumen menurut Purba (1992:393-408, dalam Susanto, 2008:3) dapat
dijelaskan dalam kerangka umum yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Konsumen dan
pelaku usaha mempunyai derajat yang sama.
b. Konsumen
mempunyai hak.
c. Pelaku usaha
mempunyai kewajiban.
d. Pengaturan
tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional.
e. Perlindungan
konsumen dalam iklan bisnis yang sehat.
f. Keterbukaan
dalam promosi barang atau jasa.
g. Pemerintah
perlu berperan aktif.
h. Masyarakat
juga perlu berperan serta.
i. Perlindungan
konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang.
j. Konsep perlindungan
konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Sementara
jika dilihat dari isi upaya perlindungan konsumen di bawah Undang- Undang, maka
ada tiga model pendekatan dalam perlindungan konsumen tersebut, yaitu:
a. Pendekatan
sektoral: berarti hak-hak konsumen diakomodir dalam berbagai produk
undang-undang sektoral.
b. Pendekatan
holistik: ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur
masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi payung dari Undang-Undang
sektoral yang berdimensi konsumen.
c. Pendekatan
gabungan: selain UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disebut UUPK) secara khusus, untuk hal lain yang lebih detail dan teknis dipertegas
dalam Undang-Undang sektoral, pendekatan inilah yang dipakai pemerintah
Indonesia (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2007:260).
Adapun tujuan
dari perlindungan konsumen adalah:
a. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/ atau jasa;
c. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen;
d. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usahaproduksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Jadi,
perlindungan konsumen menurut UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Peraturan tersebut
merupakan sebuah usaha untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang- wenang
dari para pelaku usaha.
2. Hak dan
Kewajiban Konsumen
Dalam ketentuan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebagai
pengguna dari sebuah produk atau layanan jasa, maka konsumen memiliki hak yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Hakhak konsumen didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 dijabarkan tentang hak konsumen, yaitu:
a. Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa, sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan
advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
f. Hak untuk
mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan
suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial
lainnya.
h. Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
Selain
memiliki hak yang harus dipenuhi, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban
yang dijabarkan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu:
a. Membaca,
mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
b. Beriktikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a.
Hak pelaku usaha
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
b.
Kewajiban pelaku usaha Hak pelaku usaha di atas juga disertai oleh kewajiban
bagi pelaku usaha. Kewajiban tersebut adalah sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu:
1)
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2)
Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3)
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan;
pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4)
Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5)
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6)
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7)
Memberi kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
8)
Dalam Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan
hukum yang dilarang bagi pelaku usaha, di antaranya: larangan dalam
memproduksi/ memperdagangkan, larangan dalam menawarkan/ mempromosikan/
mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral/ lelang, dan larangan dalam
ketentuan periklanan.
C. METODE PENELITIAN
Sehubungan
dengan jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik, maka untuk memperoleh
hasil analisis penelitian dipergunaan sumber data pendukung, yang terdiri dari
sumber data primer yang diperoleh dari hasil observasi dan penelitian lapang dengan
metode wawancara terhadap rensponden penelitian. Untuk mempertajam analisis
hasil penelitian, maka dalam penelitian ini didukung dengan sumber data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
dan bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan pustaka yang relevan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar