Review
ANALISIS
YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN
TELEPON SELULER
Oleh:
Netty
Endrawati
Dosen Fakultas Hukum UNISKA Kediri
Berisi :
Pembahasan
D. PEMBAHASAN
1. Kasus yang
Berkaitan dengan Hak dan
Kewajiban
Pengguna Telepon Seluler.
Sifat konsumerisme
di Indonesia atas penggunaan telepon seluler, menjadikan peluang bagi pihak
produsen serta content provider untuk mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dari pihak konsumen. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus
pelaporan pencurian atau penyedotan pulsa yang dialami oleh pengguna telepon
seluler. Misalnya, pada kasus yang diungkapkan oleh Kompas.com bahwa sudah ada
17 saksi yang telah melapor terkait pencurian pulsa.
Berikut
ulasannya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan,
penyidik Badan Reserse dan Kriminal Polri telah memeriksa 17 saksi dalam kasus
pencurian pulsa melalui layanan premium. Namun, belum ada satupun tersangka
dalam kasus itu karena polisi masih membutuhkan keterangan sejumlah saksi.
Para saksi tersebut
di antaranya empat orang pelapor kasus, tiga orang terlapor, dan satu orang
saksi dari media elektronik yang mengiklankan program premium dari content
provider. Selain itu, dua orang dari content provider serta saksi
dari operator telepon seluler sebanyak tujuh orang.
Selain saksi
tersebut, penyidik juga telah meminta keterangan dari sejumlah saksi ahli.
Saksi ahli antara lain dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia,
Kementerian Sosial, ahli komputer forensik, dan Cyber Crime Investigation
Center (CCIC) Bareskrim Polisi juga mengumpulkan keterangan ahli
dari Perlindungan Konsumen Nasional dan ahli teknologi informasi dari ITB serta
Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Dari pemeriksaan
dan pengusutan kasus ini, polisi juga menyita barang bukti berupa 5 telepon
genggam berbagai merek, 5 unit SIM card, dan satu lembar informasi biaya
penggunaan telepon atau billing statement. Barang bukti juga berupa satu
lembar dari SMS pass dengan nomor +628131651XXX dan +62812210XXX, satu keping video acara promo
yang ditayangkan televisi swasta, kemudian satu lembar special package dari
content provider, serta satu koran yang memuat berita tersebut.
Dalam kasus ini,
Polisi akan menggunakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, Pasal 372 KUHP tentang
penggelapan, dan Pasal 362 KUHP tentang pencurian untuk menjerat tersangka.
Tersangka juga dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Kominfo Nomor 1 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Jasa
Pesan Premium.1
Pada
perkembangan selanjutnya, penyidik juga menanyai saksi ahli. Pertama, dari
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Kedua, Kementerian Sosial, serta
ketiga dari ahli komputer forensik, Cyber Crime Investigation Center
Bareskrim. Kemudian, ahli dari perlindungan konsumen nasional dan ahli IT ITB
serta ahli Kominfo (Kementerian Komunikasi
dan
Informatika). Empat orang menjadi pelapor dalam kasus yang ditangani Bareskrim
ini, yaitu dengan laporan polisi nomor 3409, 3511, 3568, dan 3616.
Pada
umumnya, pelapor merasa dirugikan oleh layanan jasa pulsa premium yang
dipromosikan melalui iklan di media dan sms/spam yang menjanjikan hadiah ringtone
gratis, iklan voucher belanja ke nomer pelapor.
Selain itu,
pelapor merasa tidak pernah merasa meregistrasi kepada operator yang
bersangkutan, namun tetap dilakukan pengiriman dan dilakukan pemotongan pulsa.
Pada saat bersamaan, pelapor juga merasa kesulitan untuk melakukan unreg.
“Kemudian,
atas layanan sms premium tersebut, pada saat melakukan pengiriman dan
penerimaan pesan premium tersebut dikenakan charge sebesar dua ribu hingga tiga
ribu dg PPN-nya. Ini yang merugikan konsumen,” kata Saud.
Sementara itu,
untuk tersangka, saat ini penyidik belum mengarah ke sana. Mereka akan fokus
pada pemeriksaan saksi-saksi terlebih dahulu, jika sudah cukup, maka baru
menetapkan tersangka. “Sehingga pada saatnya nanti, sudah tidak ada dan dapat
menunjuk tersangka dengan akurat,” tutur Saud.2
Kasus
serupa juga terjadi pada Feri Kuntoro, yang melaporkan dugaan penarikan pulsa
melalui modus pesan singkat berlangganan (registrasi) yang ditayangkan pada
salah satu televisi swasta.
Feri menuturkan
kejadian berawal saat pihaknya mencoba ikut salah satu tayangan undian
berhadiah pada salah satu televisi sekitar Maret 2011. Kemudian pelapor
mendaftarkan diri
(registrasi) melalui pesan singkat berdasarkan format tulisan ke nomor content
provider 9133. Setelah pendaftaran tersebut, Feri dikenakan biaya potongan
pulsa premium sebesar 2.000 rupiah setiap terima pesan dari nomor 9133. Feri
menyatakan pihaknya kesulitan berhenti berlangganan (unreg) konten tersebut karena
tidak tersedia fasilitas unreg. Secara terpisah, Menteri Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) Tifatul Sembiring mengatakan bahwa Kementerian Komunikasi
dan Informatika siap mengajukan operator seluler yang terbukti melakukan pelanggaran
terkait kasus sedot pulsa yang terjadi belakangan ini. Sebelumnya, Kominfo mengatakan,
pihaknya telah memberikan peringatan kepada para penyedia konten. Tetapi waktu
itu tidak jelas. Selanjutnya dilihat kesalahannya ada di pihak provider (operator
telekomunikasi) atau penyedia konten. Kominfo menambahkan seharusnya pihak yang
mengambil pulsa dari pengguna melakukan konfirmasi. Karena jika tidak, itu sama
artinya dengan mencuri. Kominfo menambahkan, kalau terbukti mencuri dengan sengaja,
content provider akan dilaporkan ke polisi.3
2. Kasus yang
Berkaitan dengan Hak dan
Kewajiban Produsen
Telepon Seluler.
Panitia Kerja
Pencurian Pulsa yang dibentuk oleh Komisi I DPR sedang menyelidiki siapa yang
paling bersalah dalam kasus tersebut. Kesimpulan sementara, yang paling bersalah
dalam hal tersebut adalah pihak content provider (CP), operator, dan
regulator. Namun, Ketua Panja Pencurian Pulsa Tantowi Yahya menjelaskan, masih
dini untuk menyimpulkan bahwa tiga pihak tersebut yang dinilai paling bersalah
dalam kasus ini. Tetapi, agar menemukan siapa dalang di balik kasus tersebut,
pihak Panja Pencurian Pulsa akan mendatangkan konsumen, perwakilan Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, ahli hukum dan telekomunikasi,
content provider
dan
content owner, operator, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI),
serta kepolisian dan kejaksaan.“Dalam Panja ini akan ditemukan siapa yang
paling bersalah dalam kasus tersebut. Kita bukan mengadili, tapi kami sudah mengumpulkan
bukti-bukti yang bisa dicross
check dari para
narasumber yang kami hadirkan di sini,” ungkap Tantowi saat Rapat Dengar
Pendapat (RDP) di Komisi I DPR Senayan Jakarta, Selasa (6/12/2011). Agar mendapat
kejelasan, Panja Pencurian Pulsa kali ini menghadirkan perwakilan dari Indonesian
Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA), Indonesian
Mobile Multimedia Association (IMMA), Asosiasi Kreatif Digital Indonesia
(AKDI), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), dan Gabungan Perusahaan
Rekaman Indonesia (Gaperindo).
Chairman IMMA,
T. Amershah, menganggap bahwa CP dan operator sama-sama harus bertanggung jawab
atas kasus tersebut. Bagaimanapun, kedua pihak ini yang menjalankan bisnis
tersebut.
Ketua IMOCA, A.
Haryawirasma, mengaku, pihak CP merupakan aktor utama yang dinilai bersalah
dalam kasus tersebut. Selanjutnya, operator dinilai sebagai pelaku pelengkap
yang bersalah. “CP dianggap pelaku utama karena menyediakan konten sekaligus
cara-cara registrasinya, sedangkan operator yang memotong pulsa pengguna,” kata
Haryawirasma.
Ketua
AKDI Berlin Pasaribu juga senada, yang menganggap bahwa CP dan operator harus
bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Dia menganggap kedua pihak ini telah
melakukan koordinasi untuk memotong pulsa pengguna.
Pernyataan
berbeda dilontarkan Sekjen IMOCA Ferrij Lumoring yang mengaku untuk memvonis
pihak CP atau operator bersalah adalah pihak kepolisian dan kejaksaan. Selama
ini, baik pihak CP maupun operator akan diminta keterangannya terkait kasus
tersebut. Jika sudah terbukti maka proses peradilan bisa dilakukan.4 Kasus serupa
juga terjadi di Medan, yaitu pelanggan yang bernama, John Parlin Sinaga menggugat
PT. Exelcomindo Axiata (XL) dengan mengadu ke Badan Penyelesaian Sengketa
Daerah Kota Medan karena mengangap perusahaan seluler tersebut melakukan
pelanggran atas hak konsumen. Adapun perkaranya menurut John, dia menilai
pelaku dalam memberikan fasilitas 50 menit gratis bicara kepada nomor prabayar
sebagai bentuk permohonan maaf atas gangguan yang terjadi pada Kamis (13/
11) bersifat
tidak adil atau diskriminatif. Untuk itu memohon kepada BPSK Kota Medan dapat
memberikan putus an atas permintaannya berupa pengabulan permohonanpengaduan
konsumen, dan menyatakan perbuatan XL merupakan perbuatan melawan hukum. Selain
itu, John juga memohon agar pelaku usaha memberi ganti rugi materil dan
immaterial sebesar Rp. 2 Miliar, dan menghukum PT tersebut untuk memohon maaf
secara khusus kepada konsumen dan secara umum kepada pelanggan yang dirugikan
atas perlakuan tidak adil dari pelaku usaha tersebut.5
3. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Bagi Pengguna Telepon Seluler.
Saat ini,
peraturan perudang-undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan konsumen
adalah UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum disahkanya UU
No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Ketentuan
Umum UU No. 8 Tahun 1999, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Selain itu,
perlindungan konsumen juga mengacu pada Pasal 8 Ayat 1 (satu) Undang- Undang
No. 8 Tahun 1999, yang berisi tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha.
Undang-Undang
lain yang berkaitan dengan perlindungan pengguna telepon seluler adalah:
a. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
b. Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993, Keputusan Menteri Pariwisata.
c. Pos dan
Telekomunikasi Nomor KM.116/ PT/102/MPT-91 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi Bukan Dasar.
d. Keputusan
Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM.39/KS.002/ MPTIT-93 tentang
Kerjasama Penyelenggaraan Telekomunikasi Dasar.
e. Ketentuan
internasional yaitu Internasional Telekomunikasi Unions, Conventions yang
diratifikasi dengan Keppres Nomor 18 Tahun 1996.
4. Analisis
Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Telepon Seluler
Dari paparan
berbagai kasus di atas dianalisis berdasarkan Peraturan dan perundang- undangan
perlindungan konsumen di Indonesia.
a. Kasus yang
Berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Pengguna Telepon seluler.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 4 dan 5 pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, maka kasus di atas bisa dikatakan bahwa di dalamnya
terdapat pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh produsen telepon seluler
beserta pihak yang bekerja sama dengan produsen telepon seluler. Pelanggaran
tersebut berupa tidak dipenuhinya hak pengguna atas kenyamanan, dan keamanan
dalam menggunakan produk atau jasa dari produsen telepon seluler. Hal tersebut
terlihat dari kejadian hilangnya pulsa pengguna setelah mendapatkan sms premium
dari content provider. Sebagai pelaku usaha, produsen telepon seluler mempunyai
kewajiban memberikan layanan yang membuat pelanggan nyaman dan aman. Kebanyakan
pencurian pulsa berasal dari SMS premium dan layanan premium merupakan produk hasil
kerja sama antara operator dan content provider. Namun menurut beberapa
ahli, layanan premium itu merupakan tanggung jawab bersama antara operator dan content
provider.
Namun demikian,
operator yang tetap memegang kendali terhadap pulsa para konsumen telepon
seluler. Maka seharusnya masalah tersebut menjadi tanggung jawab bagi produsen
telepon seluler. Dan produsen tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya
tersebut. Selain itu, pada dua kasus di atas juga diindikasikan adanya tidak
dipenuhinya hak pengguna telepon seluler atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dengan adanya
kasus penipuan yangbermodus layanan sms premium, yang menyedot pulsa pengguna
telepon seluler, maka secara otomatis produsen sudah melakukan pelanggaran
terhadap hak konsumen atas informasi yang jelas, benar dan jujur atas produk
yang digunakannya. Dalam Pasal 4 ayat 8 pada UUPK, disebutkan bahwa konsumen
berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya. Maka pengguna telepon seluler sebagai konsumen berhak
mendapatkan kompensasi atau ganti rugi jika pengguna tersebut merasa dirugikan
oleh produsen. Hak kompensasi tersebut harus dipenuhi oleh pihak produsen
sebagaimana mestinya.
Hak tersebut
seharusnya bisa dipenuhi karena pihak konsumen sudah memenuhi kewajiban sebagai
pengguna telepon seluler, seperti yang ada dalam ketentuan pasal 5 UUPK.
Dinyatakan bahwa pengguna sudah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan,
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa,
membayar sesuai denganilai tukar yang disepakati, bahkan sudah mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
b. Kasus yang
berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Produsen Telepon Seluler.
Dalam UUPK, juga
diatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha atau produsen. Dalam ketentuan
umum dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah “setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
Berdasarkan dua
kasus di atas yang berhubungan dengan produsen, dapat dikatakan bahwa pihak
provider berhak untuk melakukan pembelaan atau mendapatkan perlindungan hukum,
jika kasus pencurian pulsa di atas bukan merupakan kesalahan pihak produsen.
Produsen juga dapat menyalahkan pihak content provider, disertai bukti
yang menguatkan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahan pada pihaknya. Hal
ini sesuai dengan UUPK Pasal 6 ayat 2 dan 3. Provider juga berhak untuk
mendapatkan rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum, bahwa
kerugian yang dialami konsumen tidak diakibatkan oleh produk yang
diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat 4 UUPK. Jika melihat dari
kasus diskriminasi yang dialami Feri Kuntoro, maka pihak provider telah
menyalahi UUPK Pasal 6 ayat 3 yang menyatakan bahwa, pihak pelaku usaha
mempunyai kewajiban memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur, serta tidak diskriminatif.
Maka hal yang
harus dilakukan oleh pihak produsen adalah sesuai pada pasal 6 ayat 6 dan 7
UUPK, yaitu memberikan
kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian yang ditanggung oleh pihak
konsumen. Jika dilihat kasus-kasus di atas, sebenarnya, UU No. 8 Tahun 1999
menegaskan sebagai: “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen antara lain adalah dengan
meningkatkan harkat dan martabat kosumen dan menumbuhkembangkan sikap pelaku
usaha yang bertanggung jawab.
Dari analisa di
atas, dapat dikatakan bahwa, kepastian hukum menuntut aturan yang termuat dalam
produk hukum berlaku dengan pasti kepada semua warga negaranya. Hukum sebagai
tolok ukur objektif guna menyelesaikan konflik sosial, maka di dalam dirinya
sendiri harus bersifat objektif. Masyarakat melalui hukum dijamin tidak akan
diperlakukan secara diskriminatif, maka untuk menjamin kepastian hukum,
seyogyanya suatu peraturan perlu dipositifkan (dirumuskan dalam undang-undang/
produk hukum tertulis) agar pelaksanaannya dapat berlaku sama.
Salah satu
contoh kongkret pertentangan nilai dasar keadilan dan kepastian hukum dapat
dilihat pada konsep ganti kerugian yang telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999.
Dalam ketentuan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa: 1) Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan. 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi. 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Artinya,
berdasarkan asas hukum yang umum berlaku dalam hukum perdata, bahwa ganti rugi
hanya mungkin diwajibkan kepada pelaku usaha untuk memberikannya kepada pihak
yang dirugikan apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
1) Telah terjadi
kerugian konsumen;
2) Kerugian
tersebut memang adalah sebagai akibat perbuatan pelaku usaha;
3) Tuntutan
ganti kerugian telah diajukan gugatan oleh pihak yang menurut UU No. 8 Tahun 1999
berhak mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1); dan
4) Telah ada
Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga telah dapat
dilaksanakan.
Putusan
tersebut dapat berupa hasil kesepakatan antar pelaku usaha dan konsumen yang
telah menyelesaikan sengketanya melalui penyelesaian damai, atau berupa Putusan
arbistrase BPSK atau Putusan Pengadilan.
Berdasarkan asas
hukum yang berlaku dalam hukum perdata tersebut, terlihat secara jelas bahwa,
untuk memperoleh keadilan, konsumen yang secara nyata dirugikan pun harus tetap
menempuh proses dan prosedur yang sangat sulit.
D. PENUTUP
Kesimpulan dari
pembahasan di atas bahwa antara konsep dan realita sering kali tidak seiring
sejalan. UU No. 8 Tahun 1999 yang diharapkan dapat menjadi senjata bagi pencari
keadilan, dalam implementasinya ternyata harus menghadapi berbagai kendala.
Pada kenyataannya konsumen yang secara nyata telah dirugikan harus tetap
melalui proses dan prosedur yang panjang untuk memperoleh ganti kerugian.
Proses dan prosedur yang sulit menyebabkan konsumen bersikap pasif, tidak
perduli menanggapi kerugian yang telah mereka alami selama bertahun-tahun.
Terkait dengan pertanggung-jawaban, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19
UU No. 8 Tahun 1999, dalam memenuhi rasa keadilan seharusnya pelaku usaha
bertanggung jawab secara langsung kepada konsumen dengan memberikan ganti rugi
tanpa perlu melalui proses dan prosedur yang panjang. Namun, dengan adanya asas
kepastian hukum dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1999, terkait kasus ini ternyata
konsumen menggalami kesulitan untuk memperoleh hak-haknya. Untuk memperoleh
ganti kerugian, konsumen harus melakukan upaya hukum yang membutuhkan proses
dan prosedur panjang serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada tataran
implementasinya, upaya hukum yang harus dilakukan oleh konsumen tidak semudah
yang dibayangkan. Ketentuan hukum UU No. 8 Tahun 1999 tidak sesuai dengan
harapan yaitu menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat, sederhana dan biaya
murah.
Saran yang perlu
disampaikan dalam penulisan ini adalah Keadilan dalam konsep pemenuhan hak
konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengeketa perlindungan konsumen secara patut pun belum dilakukan oleh
pemerintah. Seharusnya, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, pemerintah
bekerjasama dengan BPSK atau LPKSM mengupayakan semaksimal mungkin pemenuhan
hak konsumen untuk memperoleh ganti kerugian. Dalam konteks keadilan seharusnya
pelaku usaha dengan penuh kesadaran memenuhi semua kewajiban untuk memberikan
ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan sebagaimana diamanatkan dalam
ketentuan Pasal 7 UU no. 8 Tahun 1999.
REFERENSI
Advendi Simangunsong dan Elsi
Kartika Sari, 2007, “Hukum dalam Ekonomi”, Edisi III, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, hlm.161-163.
Andrie Yudhistira, 6 Desember
2011, “Kasus Pencurian Pulsa, Polri Tambah Pasal”, tersedia di website http://berita.liputan6. com/read/366150/kasus-pencurianpulsa-
polri-tambah-pasal, diakses tanggal 24 Januari 2012.
Christine, Daymone dan Immy
Holloway. 2008. Metode Riset Kualitatif. Yogyakarta: Benteng Pustaka.
Happy Susanto, 2008, “Hak-Hak
Konsumen Jika Dirugikan”, Jakarta: Visi Media Ciganjur.
“Hukum tentang Pencurian Pulsa”,
http:// koran-jakarta.com/index.php/pagen / pageof/771/Hukum tentang Pencurian Pulsa/72938.htm,
05 Oktober 2011.
Ismoko Widjaya dan Syahrul
Ansyari, 12 Oktober 2011, “Tifatul: Pencurian Pulsa
Masuk Pidana”, tersedia di
website http:/ /metro.vivanews.com/news/read/ 254771-tifatul—pelanggaran-pulsa—
masuk-pidana, diakses tanggal 24 Januari 2012.
Iwan Hermawan, 19 (3) Oktober
2011,“Kebijakan Pasar dan Telekomunikasi diIndonesia (Kasus ‘Pencurian’ Pulsa
Telepon Seluler), Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
“Konsumen Gugat PT. Exelcomindo”, http://www.antarasumut.com/berita-sumut/
konsumen-gugat-pt-exelcomindo/, 18 Januari 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Sudah 17 Saksi, Belum Ada
Tersangka Pencurian Pulsa” http://megapolitan.
kompas.com/read/2011/12/08/2100553/ Sudah.17. Saksi.Belum. Ada.Tersangka.
Pencurian.Pulsa, 08 Desember 2011.
“Siapa yang Salah, “Content
Provider” atau Operator?”, http://tekno.kompas.com/
read/2011/12/07 /10430690/Siapa. yang. Salah.Content.Provider.atau.Operator, 07
Desember 2011.
Taufik Rachman, 8 Desember 2011,
“Kalau tak Ada Pengaduan, Operator tak tahu
Ada Penipuan Pulsa”, tersedia di
website http://www.republika.co.id/berita/
trendtek/telekomunikasi/11/12/08/ lvvmp7-kalau-tak-ada-pengaduanoperator-
tak-tahu-ada-penipuan-pulsa, diakses tanggal 24 Januari 2012.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia dan AusAID, 2007, “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia”, Jakarta:
YLBHI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar