Sabtu, 29 Desember 2012

Review 4 : Koperasi Karyawan: antara pola sub-kontrak dan aktualisasi ekonomi pekerja. Sebuah studi banding



Review:
Koperasi Karyawan:
antara pola sub-kontrak dan aktualisasi ekonomi pekerja.
Sebuah studi banding
Oleh:
Rsyad Muchtar
Berisi :
Pendahuluan

Nama koperasi karyawan (kopkar) di Indonesia sudah dikenal sangat luas dengan terminologi koperasi fungsional yang hidup di lingkungan perusahaan. Keberadaannya merupakan manifestasi dari upaya penciptaan nilai tambah ekonomi di kalangan karyawan berpenghasilan rendah. Dan sekaligus sebagai implementasi dari esensi koperasi sebagai alat pemerataan pendapatan.
Kendati keberadaannya sangat tergantung pada komitmen perusahaan, namun kopkar bukan perpanjangan tangan, apalagi alat penekan bagi kepentingan perusahaan. Kopkar justru subjek dan mitra usaha perusahaan. Dunia perkoperasian juga mengenal istilah Koperasi Pekerja ( Worker Cooperative). Kendati hampir mirip dengan sebutan kopkar – bahkan Departemen Tenaga Kerja tidak membedakan antara keduanya - namun terdapat perbedaan substantif.
Koperasi pekerja adalah sebuah bangun usaha produktif. Para anggotanya berposisi sebagai pekerja, pemilik dan sekaligus majikan. Hasil koperasi pekerja tidak dikonsumsi oleh anggotanya sendiri, tapi dipasarkan. Karenanya, koperasi pekerja sering disebut sebagai koperasi produksi (production co-operative). Sedangkan kopkar, adalah istilah umum yang lebih dulu kita kenal . Koperasi ini beranggotakan karyawan-karyawan perusahaan dan melakukan kegiatan yang hasilnya dikonsumir oleh anggotanya sendiri, seperti barang-barang konsumsi, kredit, perumahan dan sejenisnya. Koperasi ini digolongkan sebagai koperasi konsumsi1. Kapan kopkar mulai dikenal dan akrab di telinga khalayak ramai. Hampir tidak ada data pasti, karena keberadaan kopkar memang tidak diatur secara khusus oleh undang-undang ataupun peraturan pemerintah lainnya. (bandingkan dengan KUD, KSU atau KSP).
Sebagai patokan, awal keberadaan kopkar di perusahaan swasta kiranya dapat mengacu pada saat lahirnya UU No 12 tahun 1967 tentang Pokok-pokokPerkoperasian. Dalam UU yang merupakan revisi terhadap UU No 14 Tahun 1965 ini, pada penjelasan pasal 17 tentang jenis koperasi dimungkinkan tumbuhnya koperasi-koperasi fungsional. Istilah fungsional sebenarnya tidak dikenal dalam dunia perkoperasian yang hanya mengenal istilah koperasi konsumen, produsen dan kredit. Setelah dibelakukan UU No 12 Tahun 1967, koperasi fungsional pun marak. Ditandai dengan munculnya koperasi di lingkungan Angkatan Bersenjata (kiniTNI). Di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) sudah lebih dulu muncul koperasidengan nama Koperasi Pegawai Negeri(KPN) pada 1954. Sedangkan dilingkungan dunia usaha dikenal pula istilah Koperasi Kerja Indonesia(Koperindo) dan Koperasi Buruh Indonesia (Kobin). Kemudian sejak Januari 1986 kedua koperasi tersebut bernaung di bawah Induk Koperasi Pekerja Indonesia (Inkoperindo), dan selanjutnya berubah nama menjadi Inkopkar.
Jika mengacu pada prinsip perkoperasian dunia, kemunculan koperasi golongan fungsional merupakan sebuah antitesa. Keanggotaan koperasi yang semula sukarela dan terbuka, sudah tidak berlaku lagi. Posisi keanggotaan dalamkoperasi golongan fungsional tidak bisa bebas dan terbuka, tetapi bersifat tertutup atau hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki profesi sejenis. Persoalannya, apakah dengan adanya pelencengan prinsip berkoperasi itu, keberadaan kopkar menjadi tidak jelas? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Apalagi dalam iklim Perkoperasian di Indonesia yang sudah lama salah kaprah. Kopkar memang merupakan anomali yang dilegalisir oleh ketentuan perundangundangan pemerintah seperti tercantum dalam penjelasan pasal 16 UU No 25 Tahun 1992. Dasar untuk menentukan jenis Koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi Pemasaran dan Koperasi Jasa. Pada baris terakhir penjelasan pasal itu disebutkan: Khusus koperasi yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota ABRI, karyawan dan sebagainya, bukan merupakan jenis Koperasi tersendiri.
Penjelasan tersebut ingin mengatakan bahwa koperasi fungsional bukan bersifat khusus meskipun keberadaannya tidak berada dalam jangkauan wilayah umum. Namun, dengan keterbatasan jangkauan secara umum itu justru membuat kopkar menjadi sangat khusus, bahkan bisa digolongkan pada pseudo koperasi (koperasi semu). Keberadaan kopkar memang unik. Tidak seperti koperasi lainnya, seperti KSP atau KUD, kiprah kopkar jauh dari gemerlap program bantuan dan pemberdayaan pemerintah. Boleh dibilang, hampir tidak ada program pemberdayaan koperasi oleh pemerintah yang mengucur ke kopkar. Di masa Orde Baru, pernah muncul gebyar alih saham perusahaan ke munculnya banyak kopkar. Tetapi gebrakan tersebut lebih bernuansa politis ketimbang pemberdayaan koperasi. Hasilnya, bagai gelembung buih sabun, alih saham hilang begitu saja. Sampai kini tidak ada koperasi yang mengklaim kepemilikan sahamnya di perusahaanbesar.
Apakah kopkar termasuk kelas koperasi genuine (sejati) yang mampu tumbuh atas partisipasi murni para anggotanya? Tampaknya agak sulit mencari kopkar yang tumbuh hanya mengandalkan partisipasi modal anggota an sich!. Kebanyakan kopkar tumbuh karena dukungan modal, fasilitas dan hubungan kerja dengan induk perusahaannya. Tulisan ini mencoba menelisik kiprah dan perkembangan kopkar dalam korelasinya dengan induk perusahaan. Berapa jauh peranan perusahaan memajukan koperasi dan apa dampaknya jika dukungan perusahaan melemah terhadap kopkar.
Data Pokok
Kajian utama tulisan mengacu pada studi lapangan yang penulis lakukan di Koperasi Karyawan Sejahtera (Koptera) Sewon Bantul, DI Yogyakarta. Kopkar perusahaan tekstil, PT Samitex ini mempunyai anggota sebanyak 1.600 orang, tanpa dukungan keuangan perusahaan, namun mampu melayani anggotanya selama 23 tahun. Kopkar yang tumbuh dengan aktivitas serba sederhana ini meraih penghargaan Koperasi Berprestasi pada Hari Koperasi 12 Juli 2006. Sebagai pembanding, sejumlah penelitian dan wawancara dengan kopkar lainnya menunjukkan bahwa perkembangan Koptera sangat tidak lazim, kalau tak boleh dibilang luar biasa. Sebab, kopkar yang maju dan berkembang justru lantaran mendapat dukungan perusahaan. Bahkan dukungan aktif perusahaan pada gilirannya mampu mengangkat kinerja kopkar dengan pertumbuhan asset dan Sisa Hasil Usaha (SHU) mengagumkan. Sementara kopkar yang juga pernah meraih Teladan Nasional, yaitu Kopkar Mercury PT PLN (Persero), Padang, Sumatera Barat, malah berhasil meraih kinerja tinggi karena memanfaatkan kedekatan para pengurusnya dengan pihak manajemen di perusahaan induk. Kopkar Mercury berhasil menjalin kemitraan usaha pola sub-kontrak dengan perusahaan induk (PLN Sektor Padang) dalam pengerjaan unit pemeliharaan jaringan/transmisi dan pekerjaan umum lainnya seperti jasa cleaning service, supplier, hingga penarikan dana langganan (rekening) listrik.
Pola Sub-kontrak
Sulit dibantah bahwa posisi perusahaan sangat menentukan bagi eksistensi kopkar, bahkan terdapat pola ketergantungan cukup tinggi yang menempatkan perusahaan pada posisi superior dan kopkar di sisi lain sebagai inferior. Umumnya bisnis kopkar terdiri dari sejumlah produksi atau barang yang mengacu pada kebutuhan primer anggota. Dan bagian terbesar masalah karyawan di tingkat menengah ke bawah adalah kebutuhan biaya rumah tangga yang tidak mencukupi akibat gaji rendah. Maka tak heran jika bisnis kopkar yang laris manis disukai anggota adalah Usaha Simpan Pinjam (USP) dan Warung Serba Ada (Waserda). Fungsi kopkar sebagai penyedia kebutuhan primer anggota boleh dibilang peran yang minimalis namun strategis. Tetapi tidak sedikit pula kopkar yang mampu menjalankan fungsinya sebagai penyedia kebutuhan perusahaan. Kesempatan seperti ini merupakan goodwill perusahaan dalam menempatkan kopkar sebagai sub-kontrak. Pola seperti ini memberikan kepercayaan kepada kopkar untuk bertindak sebagai rekanan pengadaan berbagai kebutuhan perusahaan.
Karena posisi kopkar yang pengurusnya adalah juga karyawan perusahaan, maka fungsi sub kontrak lebih menguntungkan. Selain mampu menekan tingkat efisiensi perusahaan, karyawan pun mendapat nilai tambah ekonomi yang lebih baik melalui perolehan SHU kopkar. Apakah kemudian tidak terjadi unsur kolusi? Artinya, bisa saja oknum perusahaan ‘bermain mata’ dengan manajemen kopkar me-mark-up harga. Pandangan pesimis itu berangkat pada pemahaman bahwa kopkar hanyalah koperasi konsumen yang sekadar memenuhi kebutuhan anggota di lingkungan terbatas. Pernyataan‘lingkungan terbatas’ itu tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi makna fungsionalisasi.
Itu sebabnya, menurut kalangan yang pesimis, kopkar boleh saja meningkatkan peran sebagai sub kontrak bagi perusahaan guna memberi nilai tambah ekonomi pada anggota. Hanya soalnya, apakah peran tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten dengan tidak mencampuraduk fungsi sebagai anggota kopkar dan pegawai perusahaan.Pengamatan di sejumlah perusahaan yang menjadikan kopkar sebagai subkontrak, sangat jarang terjadi gesekan kepentingan antara perusahaan dengan karyawan. Konflik antara karyawan dan perusahaan biasanya terjadi akibat lemahnya komunikasi kedua belah pihak. Munculnya Serikat Pekerja (TradeLabour) sebagai upaya menjembatanikepentingan karyawan terkadang gagal mengatasi konflik internal tersebut.Serikat pekerja lebih bernuansa sosialpolitis,padahal amuk karyawan lebih sering bermuara pada ketimpanganpendapatan (gaji atau upah).
Sejalan dengan keberadaan serikat pekerja, kopkar berorientasi pada pemenuhan ekonomi anggota yang notabene adalah karyawan. Peran dimainkan kopkar tampaknya lebih ampuh dalam meredam konflik antara karyawan dan perusahaan. Melalui kopkar berbagai kebutuhan primer karyawan biasanya dapat terpenuhi. Salah satu pengamatan di Kopkar PT Sumarecon Agung, menunjukkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan karyawan. Perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan perumahan ini ikut aktif membangun kopkar dengan memberikan modal dan hibah saham sebesar dua persen dari keuntungan perusahaan. Pola sub-kontrak yang berkaitan langsung dengan bisnis perusahaan, misalnya terlihat pada Kopkar PT Sinar Sosro yang mengambil alih pekerjaan perusahaan induk berupa pembuangan limbah t pecahan botol ke tempat pembuangan akhir. Sedangkan Koperasi Pegawai PT Danareksa (Kopedana) oleh perusahaan induk diikutsertakan dalam kegiatan perdagangan efek (saham). Pengambilan sampel penilitian pada Kopedana — koperasi pegawai negeri (kopeg) — untuk menunjukkan perbandingan bahwa, koperasi di lingkungan pemerintahan juga mampu berkembang pesat seperti halnya kopkar diperusahaan swasta. Memang perkembangan pesat kopeg tersebut masih terbatas di lingkungan kantor pemerintahan yang punya visi bisnis yang kompetitif, seperti di Badan Usaha Milik Negara maupun Perusahaan Umum (Perum).
Dari sejumlah kopkar yang mendapat perlakuan sebagai mitra perusahaan, terlihat adanya pertumbuhan kinerja usaha yang cukup signifikan6. Setidaknya deretan angka-angka sukses kopkar mitra perusahaan dan juga kopeg pada tabel I di bawah ini menunjukkan, kopkar bisa diandalkan sebagai institusi bisnis yang mampu mendulang untung. Tabel I. 10 Kopkar dengan komposisi asset, omset dan SHU Tertinggi (Rp miliar)



Karyawan Sejahtera
Pertama kali berkunjung ke Koperasi Karyawan Sejahtera (Koptera) Bantul, Yogyakarta, tidak sempat terlintas bahwa koperasi yang hanya menempati sebuah pojok kumuh dari kantor induk perusahaan adalah salah satu peraih penghargaan Koperasi Berprestasi Tahun 2006. Skala usaha Koptera pun hanya sekadar memenuhi kebutuhan primer anggota, yakni simpan pinjam dan waserda. Sehingga bayangan koperasi berpretasi dengan jalinan kemitraan usaha dengan perusahaan sama sekali tidak tergambar pada sosok Koptera.
Lantas apa hebatnya Koptera yang sudah berdiri sejak tahun 1983? Bukankah ada ratusan koperasi lainnya di tanah air yang malah sudah berdiri sejak era kemerdekaan, tapi belum memperoleh penghargaan berprestasi? Jika setuju pada pandangan pesimisme tentang peran ideal kopkar, maka Koptera sudah memenuhi kriteria sebagai koperasi konsumen yang melayani anggota di lingkungan terbatas. Dalam rentang 23 tahun, Koptera mampu bertahan dan konsisten melayani anggotanya yang kini tercatat sebanyak 1.556 orang (per 2005). Pengguna jasa koperasi ini bahkan bisa melebihi jumlah anggota, karena sebagian karyawan PT Samitex yang belum terdaftar sebagai anggota boleh memanfaatkan jasa unit simpan pinjam. Per tahun buku 2005 tercatat 2.213 orang atau 142,13% pengguna jasa simpan pinjam, dan 330 orang atau 21,19% jasa waserda.
Dilihat dari fungsi pelayanan dan rendahnya komitmen perusahaan, Koptera agaknya bisa kita sebut genuine (sejati) yang tahan banting. Setidaknya ada tiga alasan untuk mengkategorikan genuine tersebut. Pertama, permodalan koperasi ini sepenuhnya mengandalkan simpanan anggota yang umumnya karyawan berpenghasilan rendah. Kedua, mampu melayani seluruh kebutuhan anggota, terutama simpan pinjam, kendati dengan modal dihimpun sangat terbatas. Ketiga, mampu memungsikan diri sebagai sentra ekonomi bagi anggotanya.
Sejak berdiri pada 1983, Koptera hanya memperoleh fasilitas izin pemanfaatan lokasi dari perusahaan induk (PT Samitex). Selebihnya adalah daya juang para pengurus dalam menghidupkan roda usaha. Beruntung, partisipasi anggota relatif tinggi memanfaatkan keberadaan koperasi sehingga usaha simpan pinjam dan waserda mampu bertahan. Namun, modal anggota saja tidak cukup bagi pengembangan usaha Koptera. Koperasi ini sering kedodoran melayani kebutuhan anggota yang terus meningkat. Akibatnya, nilai pinjaman anggota terpaksa harus dipangkas agar bisa memenuhi kebutuhan anggota lainnya. Upaya mengatasi kendala permodalan koperasi pernah dilakukan melalui pengajuan pinjaman ke perbankan ataupun pemanfaatan dana bergulir dari instansi pemerintahan. Hasilnya nihil, karena posisi kopkar tidak berada pada kawasan koperasi (bisnis) yang layak mendapat bantuan.

Galang Potensi
Ketika berbagai upaya mendapatkan dana pihak ketiga untuk modal Koptera tak membuahkan hasil, para pengurus mulai bersikap realistis. Ada tekad yang kuat bahwa Koptera tidak boleh mati hanya lantaran tak mendapat dukungan modal. Dari akumulasi penghimpunan modalsimpanan pokok dan simpanan wajib,pengurus Koptera memutar otak untukmengembangkan usaha. Prioritas utamatetap pada unit simpan pinjam mengingattuntutan pokok anggota memang hanya pada pinjaman dana darurat aliaskebutuhan dana taktis saat tiba tanggung bulan.
Mengacu data survey lapangan terhadap sejumlah anggota Koptera, kebutuhan utama mereka umumnya pinjaman dana ke koperasi. Kondisi itu beralasan karena dari hasil survey secara acak (random) terhadap 20 responden, sebanyak 18 orang berpenghasilan di bawah Rp 500 ribu per bulan. Sisanya, dua orang di bawah Rp. 1 juta per bulan. Dengan penghasilan anggota yang sangat minim itu, tidak heran jika koperasi kemudian menjadi tumpuan penyelamat. Seperti terlihat pada tabel II di bawah ini. Ada responden menjawab satu pertanyaan lebih dari satu pilihan. Tabel II. Alasan Berkoperasi.

Kendati seluruh responden mengaku tertolong oleh keberadaan koperasi, tetapi keterlibatan mereka secara organisatoris sangat minim. Hanya empat orang yang bisa mengikuti setiap kali digelar Rapat Anggota Tahunan (RAT). Sedangkan 16 orang mengaku tidak bisa hadir dengan alasan pekerjaan. Mereka diwakili oleh ketua kelompok masing-masing. Rendahnya partisipasi anggota cukup beralasan, sebab umumnya mereka adalah karyawan di level bawah, yang lebih mengutamakan pekerjaan ketimbang organisasi. Belum lagi dominasi perusahaan yang tidak terlalu peduli dengan kelangsungan koperasi. Berangkat dengan segala keterbatasan tersebut, bisa dimaklumi jika Ketua Koptera, Darsono, berharap penghargaan Koperasi Berprestasi 206 yang mereka terima, dapat dikompensasi dengan kemudahan mendapat kredit murah.
Keberadaan Koptera di PT Samitex tidak sekadar badan usaha, ia tak ubahnya seperti sarana untuk saling tolong menolong di antara anggota yang sepanjang tahun dililit kesulitan dana. Beban itu terasa makin menghimpit, ketika sebagian besar anggota Koptera terkena musibah gempa bumi yang mengguncang Bantul pada Mei 2006. Akibat bencana gempa bumi tersebut, pinjaman anggota yang rata-rata Rp 120 juta per bulan, membengkak hingga Rp 700 juta. Jika permohonan itu disetujui sama artinya menguras seluruh kekayaan Koptera. Berkutat di rentang waktu yang panjangmembangun koperasi, memang sebuah perjuangan yang tidak ringan. Terlebih bagi Darsono yang didaulat harus selalu siaga mengatasi kebutuhan anggotanya. Sementara, bantuan perkuatan yang sering ia simak di media massa tak kunjung mengucur.


Kendati tidak bisa diukur dengan besaran angka yang signifikan, tetapi kinerja Koptera sepanjang tahun menunjukan peningkatan cukup lumayan. Lihat tabel III.





Paparan tabel tersebut menunjukkan bisnis inti Koptera bertumpu pada unit Simpan Pinjam, yang pada tahun 2002 tercatat sebesar Rp 681,2 juta meningkat hingga Rp 1,149 miliar pada 2005. Tren yang sama terlihat pada peningkatan jumlah simpanan anggota, modal dan kekayaan Koptera.
Quo Vadis?
Kopkar yang sukses lantaran kepedulian perusahaan, sudah biasa. Tetapi jika kopkar sukses tanpa partisipasiperusahaan, seperti halnya Koptera, mungkin luar biasa. Nilai-nilai instrumental perkoperasian, mereka penuhi dengan konsisten. Seperti disinggung Sven Ake Booek, koperasi tergolong sehat jika salah satu parameternya adalah kegiatan usaha yang terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan anggota.1 Masalahnya, jika kopkar sudah mencapai ambang sukses lantas mau apa? Artinya dapatkah kopkar melanjutkan misi ekonominya secara lebih luas, misalnya dengan membeli sebagian saham perusahaan.
Kepemilikan saham perusahaan oleh kopkar tidak sekadar menaikkan posisi tawar (bargaining position) karyawan, juga meningkatkan citra perusahaan di tengah masyarakat. Seirama dengan sasaran yang menguntungkan kedua pihak (win-win) itu, pengamat perkoperasian Thoby Mutis menilai pemilikan saham oleh kopkar mengandung nuansa memperbesar pemerataan pendapatan dalam perusahaan, seraya menghindarkan tabrakan kepentingan antara buruh dan pengusaha secara tajam.2 Yang acapkali tidak terhindarkan adalah, keuntungan di satu pihak itu berakibat kerugian pada pihak lain. Thoby mengangkat pemikiran Vilfredo Pareto (1848-1923) yang terkenal  dengan Pareto Optimum. Dalil ini menjelaskan, bahwa setiap upaya yang menguntungkan seseorang atau suatuperusahaan akan selalu berakibat ruginya orang lain atau perusahaan lain.
            Dalam konteks pemilikan saham perusahaan oleh karyawan (melalui kopkar) yang dibutuhkan bukan sekadar pemberlakuan UU, juga harus diiringi komitmen pelaksanaan yang kuat.
Pemerintah Orde Baru, pernah memberlakukan ketentuan mengenai kepemilikan saham oleh kopkar hingga 25%, tetapi aturan itu hanya sebatas lip service. Selain koperasi tidak punya modal yang cukup, implementasinya pun tidak serius.
Ketika program kemitraan dengan pengusaha besar pada awal 1990 an itu marak, kita masih ingat, sejumlah koperasi diundang ke Jakarta untuk menerima alih saham. Tetapi setelah acara seremonial bubar, koperasi pun kembali ke daerah masing-masing. Alihalih mendapat deviden dari kepemilikan saham, bahkan banyak di antara koperasi tersebut yang tidak pernah lagi dihubungi oleh perusahaan mitra.
Dalam UU yang menyangkut ketenagakerjaan, masalah kepemilikan saham oleh karyawan melalui kopkar merupakan komitmen kuat bagi kesejahteraan ekonomi rakyat. Hendaknya jangan dilupakan macetrnya pemberlakuan UUKetenagakerjaan di DPR-RI, yang menimbulkan aksi demo terluas, karena adanya kepentingan yang saling tarik menarik dari pasal yang mewajibkan adanya kopkar di dalam perusahaan.
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya, dengan tegas menyebutkan kepemilikan saham atau pembagian laba bersih kepada karyawan. Bagaimana penerapannya? Tergantung pada komitmen pemilik perusahaan. Karena di sejumlah perusahaan pers, prosentase kepemilikan tersebut berbeda-beda. Pada Harian Bisnis Indonesia, tingkat kepemilikan saham oleh karyawan melalui kopkar mencapai 35%, sementara di Harian Kompas baru mencapai 20%. Namun tidak demikian halnya pada Harian Media Indonesia, di mana kepemilkan saham oleh kopkar masih berupa komitmen di atas kertas.

Kelas / Tahun    : 2EB09 / 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar