Review
Evaluasi Potensi
Genetik Sapi Pera Holland (FH)
Di Koprasi Serba Usaha
(KSU) Tandangsari Kabupaten Sumedang
Oleh:
Dudi,Dedi
Rahmat dan Tidi Dhalika
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Email: dudi_ptk04@yahoo.com
Berisi :
Hasil dan Pembahasan
Profil
Tempat Penelitian
Koperasi Serba Usaha (KSU)
Tandangsari mempunyai empat pilar usaha yaitu unit sapi perah, unit simpan
pinjam, unit sarana produksi pertanian/peternakan dan unit warung serba ada (waserda).
Unit usaha sapi perah dalam kegiatannya dilengkapi dengan bagian inseminasi
buatan (IB) dan kesehatan hewan/keswan, bagian makanan ternak, dan bagian
pemasaran. Secara keseluruhan semua unit usaha koperasi ini dijalankan oleh
seorang menajer koperasi yang ditunjang dengan bagian administrasi. Kinerja
kepengurusan KSU Tandang Sari selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kinerja Kepengurusan KSU Tandang Sari
Periode 2001-2005
Sumber: Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus KSU
Tandang Sari (2005)
Tampak jelas bahwa terjadi
peningkatan volume usaha, asset, modal sendiri dan sisa hasil usaha, tetapi
terdapat penurunan jumlah anggota dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005.
Penurunan jumlah anggota disebabkan suatu mekanisme sedemikian rupa pada
awalnya anggota koperasi tediri atas para peternak sapi perah, unit pembayaran
listrik, dan unit simpan pinjam. Hal ini terkait dengan persyaratan untuk
menempuh status KUD Mandiri yakni minimal jumlah anggota sekitar 25% dari
jumlah penduduk produktif. Setelah status KUD Mandiri diperoleh, kemudian
adanya KUD Citali serta terjadinya pemutusan kerja sama pembayaran rekening
listrik dengan fihak PLN UPPJ Tanjung Sari, maka mengakibatkan adanya
pengurangan anggota koperasi. Selain itu, hasil rapat anggota tahun 2004
memutuskan pemberhentian anggota secara otomatis bagi anggota koperasi ini yang
tidak aktif. Oleh sebab itu maka keanggotaan koperasi saat ini hanya terdiri
atas anggota simpan pinjam dan anggota unit usaha sapi perah aktif.
Unit usaha sapi perah merupakan
unit usaha andalan koperasi ini, pembinaan anggota dilakukan secara
berkesinambungan sehingga terciptanya suasana kelangsungan usaha yang optimal.
Sapi perah bagi para peternak sapi perah yang tergabung dalam KSU Tandangsari merupakan
komoditas unggulan sebagai usaha pokok untuk menghidupi keluarga. Perkembangan
populasi sapi perah selama tahun 2005 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kematian ternak
relatif rendah, hal ini menunjukkan manajemen pemeliharaan dan pengendalian
penyakit sudah berjalan dengan baik. Implikasinya adalah populasi sapi perah di
wilayah kerja koperasi ini dapat terjaga dengan baik.
Potensi
Genetik Sapi Perah FH
Susu merupakan produk utama yang dihasilkan peternak
sapi perah. Kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan berpengaruh terhadap
penghasilan yang diperoleh setiap peternak. Oleh karena itu selain adanya
dukungan faktor lingkungan (pakan, tatalaksana, pencegahan penyakit dan
lain-lain) yang berkualitas, maka untuk memperoleh kualitas dan kuantitas hasil
susu yang optimum harus didukung oleh kualitas genetik sapi perah yang
dibudidayakan. Faktor genetik sangat penting, karena bersifat mewaris, artinya
keunggulan yang diekspresikan oleh suatu individu dapat diwariskan pada keturunannya.
Dengan demikian maka faktor genetik merupakan
kemampuan individu ternak, sedangkan faktor
lingkungan merupakan kesempatan untuk memunculkan keunggulan ternak tersebut
(Bourdon, 2002).
Umur pertama beranak, lama kering
kandang dan service per conception (S/C) sapi FH di wilayah penelitian
berturut-turut nilainya adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60 hari,
masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan dan S/C=2. Faktor reproduksi
umumnya mempunyai nilai heritabilitas rendah, oleh sebab itu faktor lingkungan
sangat berperan terhadap kondisi reproduksi ternak. Faktor lingkungan dimaksud
adalah pakan (kualitas dan kuantitas), penyakit, dan manajemen reproduksi
(deteksi birahi, penentuan masa kawin yang optimum serta perhitungan waktu pada
tahapan periode reproduksi). Nilai reproduksi sapi FH di koperasi ini masih
relatif wajar sesuai dengan kondisi peternakan rakyat Indonesia umumnya, hal
ini sejalan dengan penelitain Maylinda (1986) mengenai sifat reproduksi pada
peternakan sapi perah rakyat Indonesia. Struktur populasi sapi perah FH di KSU
Tandang sari selama tahun 2006 disajikan pada Tabel 3a dan 3b. Tabel 3a dan 3b
menunjukkan bahwa komposisi antara induk laktasi dengan tidak laktasi
mencerminkan komposisi yang cukup baik, sehingga jumlah produksi susu yang
dihasilkan relatif tinggi.
Jumlah produksi susu di KSU Tandang Sari selama
tahun 2005 disajikan pada Tabel 4 dan produksi susu sampai dengan bulan Agustus
tahun 2006 disajikan pada Tabel 5. Tabel 4 menunjukkan bahwa total susu yang
dihasilkan selama tahun 2005 berjumlah 11,3 juta liter. Untuk ukuran peternakan
rakyat prestasi ini cukup bagus, karena input yang digunakan dalam budidaya
sapi perah ini adalah input berbasis bahan lokal yang tedapat di sekitar tempat
tinggal peternak
Sapi perah FH awalnya berasal dari negera beriklim
temperate, kini menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Tanjungsari) yang
beriklim tropis. Walaupun secara genetik sapi FH sangat unggul di negeri
asalnya, namun apabila dipelihara pada wilayah beriklim serta kondisi sosial
budaya yang berbeda maka keunggulan tersebut berbeda pula dalam hal hasil susu
yang dihasilkan. Fenomena seperti ini dikenal dengan mekanisme interakasi
antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Oleh sebab itu perlu adanya
pertimbangan khusus dalam mengimpor ternak unggul dari negara (wilayah) lain
yang berbeda untuk memperkecil efek interaksi genetik dengan lingkungan. Salah
satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui upaya pembuatan ternak
sapi keturunan FH yang dimuliabiakkan di lokasi kita (Tanjungsari) yang
selanjutnya dilakukan seleksi untuk sifat-sifat ekonomis seperti produksi susu,
kadar lemak dan sifat-sifat reproduksi sehingga diperoleh sapi FH unggul yang
adaptif dengan kondisi lingkungan serta sosial budaya peternak setempat.
Harapannya melalui program ini adalah terciptanya sapi produktif dan efisien
dalam pemanfaatan sumbersumber lingkungan yang ada. Hal ini sejalan dengan
pendapat Norman et al (2005) bahwa perlu adanya upaya peningkatan mutu genetik
ternak pada lokasi ternak itu dibudidayakan. Upaya penciptaan sapi FH lokal di
Tanjung Sari telah dirintis oleh bagian keswan unit usaha sapi perah KSU
Tandang Sari. Dasar pemikirannya adalah bahwa diduga pejantan yang digunakan
sebagai sumber semen pada proses IB selama periode tahun 1980-1998 yang berasal
dai BIB Lembang dikhawatirkan dapatmenimbulkan inbreeding sehingga menurunkan
produktivitas sapi FH para anggota koperasi ini.
Pembuatan
bibit lokal sapi yang telah dilakukan meliputi penggunaan pejantan Baron, Owen,
Baturraden, dan Marta. Metode praktis sederhana yang dikerjakan adalah
menyilangkan antara pejantan tadi dengan betina lokal, anak jantan keturunan
hasil persilangannya dijadikan sebagai calon pejantan. Kriteria yang digunakan
adalah produksi susu minimal 5000 liter per laktasi. Kini pejantan yang
terbentuk adalah Latitude yang merupakan hasil kawin silang antara pejantan
Malloya Latitude dengan sapi betina FH lokal. Secara umum potensi genetik sapi
perah FH di KSU Tandang Sari cukup baik, karena standar nasional Indonesia
untuk kriteria bibit sapi perah lokal adalah sekitar 3200 kg per laktasi.
Pada
hakekatnya peternak mengerti dan menyadari mengenai pentingnya kualitas bibit
sapi perah FH yang baik. Mereka melalui berbagai cara berusaha menggali
informasi mengenai tata cara memperoleh bibit sapi unggul. Terdapat dua cara
yang biasa mereka lakukan yaitu: (1) informasi diperoleh dari instansi
pemerintah melalui pengurus koperasi dan (2) informasi diperoleh melalui bandar
ternak di Tanjungsari. Informasi yang pertama biasanya melalui pengadaan bibit
sapi dan semen IB yang difasilitasi pemerintah, informasi kedua biasanya
diperoleh melalui bandar melalui proses jual-beli atau tukar tambah sapi. Pada
proses yang kedua sulit sekali mengawasi tercampurnya genetik ternak satu
dengan lainnya, karena biasanya pedetpedet yang berasal dari daerah Tanjungsari
dibeli oleh bandar dan dijual ke luar wilayah Tanjungsari (misalnya ke daerah
Garut, Lembang atau Jawa Tengah) kemudian setelah menjadi dara bunting oleh
bandar dijual lagi ke para peternak sapi perah Tanjungsari. Hal ini diduga
dapat membuka peluang terjadinya inbreeding, dikarenakan silsilah ternak belum
tercatat dengan baik. Inbreeding dikhawatirkan akan dapat menurunkan
produktivitas sapi perah dimaksud. Kenyataan seperti ini sulit untuk diatasi,
karena para peternak dengan segala kelebihan dan kekurangannya menilai
(menduga) baik atau jeleknya sapi yang akan dibeli berdasarkan pengamatan dari
luar serta informasi sekilas dari bandar.
Terdapat
metode yang relatif dapat diandalkan adalah menilai (menyeleksi) ternak
berdasarkan melalui pendugaan kemampuan genetik yang dicerminkan oleh dugaan
nilai pemuliaan (breeding value). Nilai pemuliaan (NP) merupakan kedudukan
relatif ternak secara genetik di dalam populasinya. Ternak-ternak yang memiliki
NP di atas rata-rata populasinya yang akan mengekspresikan keunggulan jika
dipelihara (Mark, et al., 2005; Nielsen, et al., 2005). Kendala yang dihadapi
untuk memperoleh nilai dugaan NP adalah perlu adanya program pemuliaan dalam
waktu dan dana yang cukup memadai, dan hal ini biasanya sulit untuk dikerjakan
oleh peternakan rakyat.
Oleh
sebab itu walaupun terdapat bermacam keterbatasan pada peternakan rakyat kita,
namun mereka adalah pejuang pembangunan yang sekaligus menjaga keseimbangan
alam melalui pemeliharaan sapi perah. Pelaksana kegiatan pemuliaan sapi perah
merupakan tugas kita semua, pemimpinnya adalah pemerintah yang menjamin
ketersediaan dana yang berkesinambungan, pendukungnya adalah perguruan tinggi
yang memiliki ilmu dan teknologi, dan penggunanya adalah masyarakat peternak
sapi perah.
Semangat
otonomi daerah hendaknya dijadikan sebagai modal dasar untuk membangun
pemuliaan sapi perah FH lokal Sumedang (Tanjung Sari). Tersedianya sumber daya
manusia (bagian keswan) yang cukup handal dikoperasi ini merupakan modal awal
yang sangat baik, yang diperlukan adalah adanya kemauan politik dari fihak
PEMDA Sumedang yang menjamin secara administratif dan finansial dalam waktu dan
jumlah yang relatif besar untuk melakukan kegiatan pemuliaan sapi perah di
Tanjungsari. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan, dalama upaya
mengantisipasi pengaruh interaksi genetik dengan lingkungan. Harapannya adalah
memudahkan para peternak dalam memperoleh bibit sapi unggulan.
Kesimpulan
Saran
Kesimpulan
Potensi genetik sapi perah FH di KSU Tandang Sari
cukup baik karena telah ada upaya rintisan pembentukan bibit sapi perah FH
lokal Tandang Sari, standar produksi susu yang dihasilkan merujuk pada standar
nasional Indonesia mengenai bibit sapi perah lokal. Kegiatan pemuliaan sapi
perah FH hendaknya dapat dijadikan sebagai unit usaha KSU Tandang Sari yang
didukung oleh PEMDA Sumedang secara administratif dan finansial, sehingga akan
diperoleh sapi FH lokal unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial
ekonomi peternak setempat.
Ucapan
Terima Kasih
Terimakasih kepada pengurus beserta seluruh anggota
KSU Tandangsari Kabupaten Sumedang atas terselenggaranya penelitian ini.
Daftar
Pustaka
Bourdon, R.M. 2002. Understanding of Animal
Breeding. Prentice Hall, New
Jersey.
Pages: 35-40.
Leclerc, H., W.F. Fikse and V. Ducrocq. 2005.
Principal Components and
Factorial
Approaches for Estimating Genetic Correlations in International
Sire
Evaluation. J. Dairy Sci. 88:3306-3315.
Maylinda, S. 1986. Pendugaan Nilai Pemuliaan dan
Keefisienan Reproduksi Sapi
Perah
di Beberapa Peternakan Sapi Perah di Kabupaten dan Kodya Malang.
Tesis,
Pascasarjana IPB, Bogor.
Mark, T., P. Madsen, J. Jensen and W.F. Fikse. 2005.
Prior (Co) Variances Can
Improve
Multiple-Trait Across-Country Evaluations of Weakly Linked Bull
Population.
J. Dairy Sci. 88:3290-3302.
Nielsen, H.M., L.G. Christensen and A.F.Groen. 2005.
Derivation of Sustainable
Breeding
Goals for Dairy Cattle Using Selection Index Theory. J. Dairy Sci.
88:1882-1890.
Norman, H.D., P.M. VanRaden, R.L. Powell, J.R.
Wright and W.R. VerBoort. 2005.
Effectiveness
of National and Regional Sire Evaluations in Predicting Future-
Daughter
Milk Yield. J. Dairy Sci. 88:812-826.
Kelas :
2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar