Sabtu, 29 Desember 2012

Review 7: Evaluasi Potensi Genetik Sapi Pera Holland (FH) Di Koprasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari Kabupaten Sumedang



Review
Evaluasi Potensi Genetik Sapi Pera Holland (FH)
Di Koprasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari Kabupaten Sumedang
Oleh:
Dudi,Dedi  Rahmat dan Tidi Dhalika
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Berisi :
Hasil dan Pembahasan
Profil Tempat Penelitian  
Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari mempunyai empat pilar usaha yaitu unit sapi perah, unit simpan pinjam, unit sarana produksi pertanian/peternakan dan unit warung serba ada (waserda). Unit usaha sapi perah dalam kegiatannya dilengkapi dengan bagian inseminasi buatan (IB) dan kesehatan hewan/keswan, bagian makanan ternak, dan bagian pemasaran. Secara keseluruhan semua unit usaha koperasi ini dijalankan oleh seorang menajer koperasi yang ditunjang dengan bagian administrasi. Kinerja kepengurusan KSU Tandang Sari selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kinerja Kepengurusan KSU Tandang Sari Periode 2001-2005



Sumber: Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus KSU Tandang Sari (2005) 

Tampak jelas bahwa terjadi peningkatan volume usaha, asset, modal sendiri dan sisa hasil usaha, tetapi terdapat penurunan jumlah anggota dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Penurunan jumlah anggota disebabkan suatu mekanisme sedemikian rupa pada awalnya anggota koperasi tediri atas para peternak sapi perah, unit pembayaran listrik, dan unit simpan pinjam. Hal ini terkait dengan persyaratan untuk menempuh status KUD Mandiri yakni minimal jumlah anggota sekitar 25% dari jumlah penduduk produktif. Setelah status KUD Mandiri diperoleh, kemudian adanya KUD Citali serta terjadinya pemutusan kerja sama pembayaran rekening listrik dengan fihak PLN UPPJ Tanjung Sari, maka mengakibatkan adanya pengurangan anggota koperasi. Selain itu, hasil rapat anggota tahun 2004 memutuskan pemberhentian anggota secara otomatis bagi anggota koperasi ini yang tidak aktif. Oleh sebab itu maka keanggotaan koperasi saat ini hanya terdiri atas anggota simpan pinjam dan anggota unit usaha sapi perah aktif.
Unit usaha sapi perah merupakan unit usaha andalan koperasi ini, pembinaan anggota dilakukan secara berkesinambungan sehingga terciptanya suasana kelangsungan usaha yang optimal. Sapi perah bagi para peternak sapi perah yang tergabung dalam KSU Tandangsari merupakan komoditas unggulan sebagai usaha pokok untuk menghidupi keluarga. Perkembangan populasi sapi perah selama tahun 2005 disajikan pada Tabel 2. 


Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kematian ternak relatif rendah, hal ini menunjukkan manajemen pemeliharaan dan pengendalian penyakit sudah berjalan dengan baik. Implikasinya adalah populasi sapi perah di wilayah kerja koperasi ini dapat terjaga dengan baik.

Potensi Genetik Sapi Perah FH
Susu merupakan produk utama yang dihasilkan peternak sapi perah. Kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan berpengaruh terhadap penghasilan yang diperoleh setiap peternak. Oleh karena itu selain adanya dukungan faktor lingkungan (pakan, tatalaksana, pencegahan penyakit dan lain-lain) yang berkualitas, maka untuk memperoleh kualitas dan kuantitas hasil susu yang optimum harus didukung oleh kualitas genetik sapi perah yang dibudidayakan. Faktor genetik sangat penting, karena bersifat mewaris, artinya keunggulan yang diekspresikan oleh suatu individu dapat diwariskan pada keturunannya. Dengan demikian maka faktor genetik merupakan
kemampuan individu ternak, sedangkan faktor lingkungan merupakan kesempatan untuk memunculkan keunggulan ternak tersebut (Bourdon, 2002).
Umur pertama beranak, lama kering kandang dan service per conception (S/C) sapi FH di wilayah penelitian berturut-turut nilainya adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60 hari, masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan dan S/C=2. Faktor reproduksi umumnya mempunyai nilai heritabilitas rendah, oleh sebab itu faktor lingkungan sangat berperan terhadap kondisi reproduksi ternak. Faktor lingkungan dimaksud adalah pakan (kualitas dan kuantitas), penyakit, dan manajemen reproduksi (deteksi birahi, penentuan masa kawin yang optimum serta perhitungan waktu pada tahapan periode reproduksi). Nilai reproduksi sapi FH di koperasi ini masih relatif wajar sesuai dengan kondisi peternakan rakyat Indonesia umumnya, hal ini sejalan dengan penelitain Maylinda (1986) mengenai sifat reproduksi pada peternakan sapi perah rakyat Indonesia. Struktur populasi sapi perah FH di KSU Tandang sari selama tahun 2006 disajikan pada Tabel 3a dan 3b. Tabel 3a dan 3b menunjukkan bahwa komposisi antara induk laktasi dengan tidak laktasi mencerminkan komposisi yang cukup baik, sehingga jumlah produksi susu yang dihasilkan relatif tinggi.



Jumlah produksi susu di KSU Tandang Sari selama tahun 2005 disajikan pada Tabel 4 dan produksi susu sampai dengan bulan Agustus tahun 2006 disajikan pada Tabel 5. Tabel 4 menunjukkan bahwa total susu yang dihasilkan selama tahun 2005 berjumlah 11,3 juta liter. Untuk ukuran peternakan rakyat prestasi ini cukup bagus, karena input yang digunakan dalam budidaya sapi perah ini adalah input berbasis bahan lokal yang tedapat di sekitar tempat tinggal peternak


Sapi perah FH awalnya berasal dari negera beriklim temperate, kini menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Tanjungsari) yang beriklim tropis. Walaupun secara genetik sapi FH sangat unggul di negeri asalnya, namun apabila dipelihara pada wilayah beriklim serta kondisi sosial budaya yang berbeda maka keunggulan tersebut berbeda pula dalam hal hasil susu yang dihasilkan. Fenomena seperti ini dikenal dengan mekanisme interakasi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Oleh sebab itu perlu adanya pertimbangan khusus dalam mengimpor ternak unggul dari negara (wilayah) lain yang berbeda untuk memperkecil efek interaksi genetik dengan lingkungan. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui upaya pembuatan ternak sapi keturunan FH yang dimuliabiakkan di lokasi kita (Tanjungsari) yang selanjutnya dilakukan seleksi untuk sifat-sifat ekonomis seperti produksi susu, kadar lemak dan sifat-sifat reproduksi sehingga diperoleh sapi FH unggul yang adaptif dengan kondisi lingkungan serta sosial budaya peternak setempat. Harapannya melalui program ini adalah terciptanya sapi produktif dan efisien dalam pemanfaatan sumbersumber lingkungan yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Norman et al (2005) bahwa perlu adanya upaya peningkatan mutu genetik ternak pada lokasi ternak itu dibudidayakan. Upaya penciptaan sapi FH lokal di Tanjung Sari telah dirintis oleh bagian keswan unit usaha sapi perah KSU Tandang Sari. Dasar pemikirannya adalah bahwa diduga pejantan yang digunakan sebagai sumber semen pada proses IB selama periode tahun 1980-1998 yang berasal dai BIB Lembang dikhawatirkan dapatmenimbulkan inbreeding sehingga menurunkan produktivitas sapi FH para anggota koperasi ini.
            Pembuatan bibit lokal sapi yang telah dilakukan meliputi penggunaan pejantan Baron, Owen, Baturraden, dan Marta. Metode praktis sederhana yang dikerjakan adalah menyilangkan antara pejantan tadi dengan betina lokal, anak jantan keturunan hasil persilangannya dijadikan sebagai calon pejantan. Kriteria yang digunakan adalah produksi susu minimal 5000 liter per laktasi. Kini pejantan yang terbentuk adalah Latitude yang merupakan hasil kawin silang antara pejantan Malloya Latitude dengan sapi betina FH lokal. Secara umum potensi genetik sapi perah FH di KSU Tandang Sari cukup baik, karena standar nasional Indonesia untuk kriteria bibit sapi perah lokal adalah sekitar 3200 kg per laktasi.
            Pada hakekatnya peternak mengerti dan menyadari mengenai pentingnya kualitas bibit sapi perah FH yang baik. Mereka melalui berbagai cara berusaha menggali informasi mengenai tata cara memperoleh bibit sapi unggul. Terdapat dua cara yang biasa mereka lakukan yaitu: (1) informasi diperoleh dari instansi pemerintah melalui pengurus koperasi dan (2) informasi diperoleh melalui bandar ternak di Tanjungsari. Informasi yang pertama biasanya melalui pengadaan bibit sapi dan semen IB yang difasilitasi pemerintah, informasi kedua biasanya diperoleh melalui bandar melalui proses jual-beli atau tukar tambah sapi. Pada proses yang kedua sulit sekali mengawasi tercampurnya genetik ternak satu dengan lainnya, karena biasanya pedetpedet yang berasal dari daerah Tanjungsari dibeli oleh bandar dan dijual ke luar wilayah Tanjungsari (misalnya ke daerah Garut, Lembang atau Jawa Tengah) kemudian setelah menjadi dara bunting oleh bandar dijual lagi ke para peternak sapi perah Tanjungsari. Hal ini diduga dapat membuka peluang terjadinya inbreeding, dikarenakan silsilah ternak belum tercatat dengan baik. Inbreeding dikhawatirkan akan dapat menurunkan produktivitas sapi perah dimaksud. Kenyataan seperti ini sulit untuk diatasi, karena para peternak dengan segala kelebihan dan kekurangannya menilai (menduga) baik atau jeleknya sapi yang akan dibeli berdasarkan pengamatan dari luar serta informasi sekilas dari bandar.
            Terdapat metode yang relatif dapat diandalkan adalah menilai (menyeleksi) ternak berdasarkan melalui pendugaan kemampuan genetik yang dicerminkan oleh dugaan nilai pemuliaan (breeding value). Nilai pemuliaan (NP) merupakan kedudukan relatif ternak secara genetik di dalam populasinya. Ternak-ternak yang memiliki NP di atas rata-rata populasinya yang akan mengekspresikan keunggulan jika dipelihara (Mark, et al., 2005; Nielsen, et al., 2005). Kendala yang dihadapi untuk memperoleh nilai dugaan NP adalah perlu adanya program pemuliaan dalam waktu dan dana yang cukup memadai, dan hal ini biasanya sulit untuk dikerjakan oleh peternakan rakyat.
            Oleh sebab itu walaupun terdapat bermacam keterbatasan pada peternakan rakyat kita, namun mereka adalah pejuang pembangunan yang sekaligus menjaga keseimbangan alam melalui pemeliharaan sapi perah. Pelaksana kegiatan pemuliaan sapi perah merupakan tugas kita semua, pemimpinnya adalah pemerintah yang menjamin ketersediaan dana yang berkesinambungan, pendukungnya adalah perguruan tinggi yang memiliki ilmu dan teknologi, dan penggunanya adalah masyarakat peternak sapi perah.
            Semangat otonomi daerah hendaknya dijadikan sebagai modal dasar untuk membangun pemuliaan sapi perah FH lokal Sumedang (Tanjung Sari). Tersedianya sumber daya manusia (bagian keswan) yang cukup handal dikoperasi ini merupakan modal awal yang sangat baik, yang diperlukan adalah adanya kemauan politik dari fihak PEMDA Sumedang yang menjamin secara administratif dan finansial dalam waktu dan jumlah yang relatif besar untuk melakukan kegiatan pemuliaan sapi perah di Tanjungsari. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan, dalama upaya mengantisipasi pengaruh interaksi genetik dengan lingkungan. Harapannya adalah memudahkan para peternak dalam memperoleh bibit sapi unggulan.
Kesimpulan Saran
Kesimpulan
Potensi genetik sapi perah FH di KSU Tandang Sari cukup baik karena telah ada upaya rintisan pembentukan bibit sapi perah FH lokal Tandang Sari, standar produksi susu yang dihasilkan merujuk pada standar nasional Indonesia mengenai bibit sapi perah lokal. Kegiatan pemuliaan sapi perah FH hendaknya dapat dijadikan sebagai unit usaha KSU Tandang Sari yang didukung oleh PEMDA Sumedang secara administratif dan finansial, sehingga akan diperoleh sapi FH lokal unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi peternak setempat.
Ucapan Terima Kasih           
Terimakasih kepada pengurus beserta seluruh anggota KSU Tandangsari Kabupaten Sumedang atas terselenggaranya penelitian ini.
Daftar Pustaka
Bourdon, R.M. 2002. Understanding of Animal Breeding. Prentice Hall, New
            Jersey. Pages: 35-40.
Leclerc, H., W.F. Fikse and V. Ducrocq. 2005. Principal Components and
            Factorial Approaches for Estimating Genetic Correlations in International
            Sire Evaluation. J. Dairy Sci. 88:3306-3315.
Maylinda, S. 1986. Pendugaan Nilai Pemuliaan dan Keefisienan Reproduksi Sapi
            Perah di Beberapa Peternakan Sapi Perah di Kabupaten dan Kodya Malang.
            Tesis, Pascasarjana IPB, Bogor.
Mark, T., P. Madsen, J. Jensen and W.F. Fikse. 2005. Prior (Co) Variances Can
            Improve Multiple-Trait Across-Country Evaluations of Weakly Linked Bull
            Population. J. Dairy Sci. 88:3290-3302.
Nielsen, H.M., L.G. Christensen and A.F.Groen. 2005. Derivation of Sustainable
            Breeding Goals for Dairy Cattle Using Selection Index Theory. J. Dairy Sci.
            88:1882-1890.
Norman, H.D., P.M. VanRaden, R.L. Powell, J.R. Wright and W.R. VerBoort. 2005.
            Effectiveness of National and Regional Sire Evaluations in Predicting Future-
            Daughter Milk Yield. J. Dairy Sci. 88:812-826.

Nama / NPM  :Amalia Novianti / 20211646
Kelas               : 2EB09


Tidak ada komentar:

Posting Komentar